Minggu, 02 Desember 2012

KTI MHI

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Cedera kepala adalah salah satu masalah kesehatan yang merupakan penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi kecelakaan lalu lintas, disamping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal dan di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya (Mansjoer A, dkk, 2009).
Menurut Miller (1978) dalam Saanin (2007), memperkirakan kecelakaan kendaraan bermotor adalah penyebab yang paling sering terjadinya cedera kepala, diperkirakan sekitar 49% dari kasus, biasanya dengan derajat cedera kepala yang lebih berat dan lebih sering mengenai usia 15-24 tahun. Sedangkan jatuh lebih sering terjadi pada anak-anak serta biasanya dalam derajat yang kurang berat. Klien dengan kecelakaan kendaraan bermotor biasanya disertai cedera berganda, dan lebih dari 50% penderita cedera berat disertai oleh cedera sistematik berat.
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal dunia sebelum tiba dirumah sakit. Sedangkan yang sampai rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), dan 10% termasuk dalam cedera kepala sedang (CKS),dan 10% sisanya adalah digolongkan sebagai cedera kepala berat (CKB). Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh, dan 3%-9% disebabkan oleh tindakan kekerasan, kegiatan olah raga dan rekreasi (Irwana, 2009).
Menurut Oman, KS, dkk (2008), prevalensi cedera kepala di Amerika Serikat ada 2 juta kasus yang terjadi setiap tahunnya, satu setengah juta merupakan cedera ringan yang ditangani sebagai klien rawat jalan, sedangkan 500.000 kasus mengalami cedera kepala yang cukup parah dan memerlukan perawatan dirumah sakit, jumlah tersebut memprediksikan besarnya kemungkinan menghadapi klien cedera kepala, cedera kepala merupakan penyebab separuh dari seluruh kematian akibat kecelakaan kendaraan bermotor, orang muda memiliki insiden cedera kepala yang paling tertinggi, dan orang tua merupakan kelompok berikutnya yang mempunyai angka insiden tertinggi, serta dengan bertambahnya populasi manula di Amerika Serikat, insiden tersebut akan meningkat.
Angka kejadian cedera kepala di Indonesia masih cukup tinggi. Penanganan akan berlanjut dalam jangka waktu lama dan melibatkan banyak pihak termasuk keluarga, orang-orang di lingkungan sekitar, di samping tenaga medis dan para medis. Sedangkan dari data rekam medik RSUD Ade Mohammad Djoen Sintang tiga tahun terakhir adalah sebagai berikut:
1.    Januari – Desember 2010 sebanyak 420 orang
2.    Januari – Desember 2011 sebanyak 435 orang
3.    Januari – Juli 2012 sebanyak 378 orang.
Melihat banyaknya kasus Cedera Kepala Sedang berdasarkan hasil data rekam medik RSUD Ade Mohammad Djoen Sintang, maka penulis merasa  tertarik untuk mengambil kasus  mengenai Asuhan Keperawatan pada Tn. Y dengan Cedera Kepala Sedang di Ruang Perawatan Bedah RSUD Ade Muhammad Djoen Sintang yang berorientasikan pada penerapan asuhan keperawatan secara komprehensif dengan  pendekatan proses keperawatan, dan fokus pemberian asuhan keperawatan adalah untuk meminimalkan risiko komplikasi yaitu hemorrhagic, infeksi, edema serebral, dan hernia.


B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam Laporan Kasus ini adalah: Bagaimana gambaran Asuhan Keperawatan pada Tn. Y dengan Cedera Kepala Sedang diruang Perawatan Bedah RSUD Ade Muhammad Djoen Sintang.

C.      Tujuan Penulisan
1.   Tujuan umum
Agar penulis dapat memperoleh gambaran nyata dalam melaksanakan Asuhan Keperawatan pada Tn. Y dengan Cedera Kepala Sedang di Ruang Perawatan Bedah RSUD Ade Mohammad Djoen Sintang.
2.   Tujuan khusus
Tujuan khusus dari penulisan kasus ini, penulis mampu:
a.    Memahami Askep dan Teori klien dengan Cedera Kepala Sedang
b.    Melakukan pengkajian pada klien dengan Cedera Kepala Sedang.
c.    Menyusun diagnosa keperawatan pada klien dengan Cedera Kepala Sedang.
d.   Menyusun perencanaan keperawatan pada klien dengan Cedera Kepala Sedang
e.    Melaksanaankan implementasi keperawatan pada klien dengan Cedera Kepala Sedang.
f.     Melakukan evaluasi asuhan keperawatan pada klien dengan Cedera Kepala Sedang.
g.    Membandingkan perbedaan antara konsep Cedera Kepala Sedang secara teoritis dengan kasus yang terjadi di lapangan. 




D.      Ruang Lingkup Penulisan
Adapun ruang lingkup penulisan Laporan Kasus ini, penulis hanya membatasi masalah pada Asuhan Keperawatan pada Tn. Y dengan Cedera Kepala Sedang yang dirawat di Ruang Perawatan Bedah RSUD Ade Mohammad Djoen Sintang selama 3 hari, dari tanggal 5 Juli 2012 sampai dengan tanggal 7 Juli 2012.

E.       Metode Penulisan
Penulis dalam menyelesaikan Laporan Kasus ini menggunakan metode deskriptif yaitu metode ilmiah yang bersifat mengumpulkan data, menganalisa dan menarik kesimpulan.
Tekhnik pengumpulan data adalah sebagai berikut:
1.   Studi kepustakaan dengan mencari dan menelaah berbagai referensi yang berkaitan dengan laporan kasus ini.
2.   Studi kasus dengan melakukan observasi dan analisa.

F.       Sistematika Penulisan
Penulisan Laporan Kasus ini terdiri atas 5 bab, yaitu Bab I: Pendahuluan, yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, ruang lingkup penulisan, metode penulisan, serta sistematika penulisan. Bab II Tinjauan pustaka yang terdiri dari tinjauan Asuhan Keperawatan dan landasan teori kasus. Bab III Aplikasi Asuhan Keperawatan terdiri dari pengkajian keperawatan, diagnosis keperawatan, perencanaan keperawatan, implementasi keperawatan dan evaluasi keperawatan. Bab IV Pembahasan yang terdiri dari pengkajian keperawatan, diagnosis keperawatan, perencanaan keperawatan, implementasi keperawatan dan evaluasi keperawatan, dan Bab V Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

 
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

      Sebelum memberikan Asuhan Keperawatan pada klien dengan Cedera Kepala Sedang ini, pemahaman perawat tentang teori yang mendasar sangatlah penting. Dalam bab ini, penulis akan membahas mengenai Asuhan Keperawatan pada klien dengan Cedera Kepala Sedang secara teoritis dan konsep dasar anatomi fisiologi sistem persyarafan Cedera Kepala Sedang.

A.    Tinjauan Asuhan Keperawatan
Asuhan keperawatan adalah faktor penting dalam survival klien dan dalam aspek-aspek pemeliharaan, rehabilitas dan preventif keperawatan kesehatan. Untuk sampai pada hal ini, profesi keperawatan keperawatan telah mengidentifikasikan proses pemecahan masalah yang menggabungkan elemen yang saling relevan dari system teori, dengan metode ilmiah (Doenges, 2006).
Proses keperawatan adalah suatu metode pemberian asuhan keperawatan yang logis dan sistematis, dinamis dan teratur yang memerlukan pendekatan, perencanaan dan pelaksanaan asuhan keperawatan yang metodis dan teratur dengan mempertimbangkan ciri-ciri pasien yang bersifat bio-psiko-sosio-spiritual maupun masalah kesehatannya. (Depkes RI, 2008)
Menurut Nursalam  (2005), proses keperawatan adalah metode dimana suatu konsep diterapkan dalam praktik keperawatan. Hal ini bisa disebut sebagai suatu pendekatan problem solving yang memerlukan ilmu, teknik, dan keterampilan interpersonal dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan klien/keluarga.
Adapun tujuan dari proses keperawatan ini adalah, pertama, menggunakan metode pemecahan masalah. Dalam hal ini perawat mengidentifikasi seluruh kebutuhan yang diperlukan klien, dimana menggambarkan masalah yang terjadi pada klien, baik yang aktual maupun resiko. Sehingga perawat dapat menetapkan desain pemecahan masalahnya, dan tindakan yang dilakukan perawat merupakan tindakan yang bertujuan untuk memecahkan masalah yang terjadi pada klien. Kedua, menggunakan standar untuk praktik keperawatan. Standar praktik diperlukan untuk menjaga mutu asuhan yang diberikan kepada klien. Ketiga, memperoleh metode yang baku dan sesuai, rasional (logis), dan sistematis (urut, rapi). Keempat, memperoleh metode yang dapat dipakai dalam segala situasi. Kelima, mempunyai hasil keperawatan yang berkualitas tinggi.
Dalam melakukan asuhan keperawatan pada klien cedera kepala sedang ini menurut Doenges (2006), dilakukan melalui lima proses keperawatan, yaitu: pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan, perencanaan keperawatan, implementasi keperawatan dan evaluasi keperawatan.
1.             Pengkajian keperawatan
Pengkajian adalah tahap awal dan dasar dalam proses keperawatan. Pengkajian merupakan tahap yang paling menentukan bagi tahap berikutnya. Kemampuan mengidentifikasi masalah keperawatan yang terjadi pada tahap ini akan menentukan diagnosis keperawatan. Diagnosis yang diangkat akan menentukan desain perencanaan yang ditetapkan. Selanjutnya, tindakan keperawatan dan evaluasi mengikuti perencanaan yang dibuat. Oleh karena itu, pengkajian harus dilakukan dengan teliti dan cermat, sehingga seluruh kebutuhan perawatan pada klien dapat di identifikasi, (Rohmah dan Walid, 2009).  Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien (Nursalam, 2005).
Pengkajian meliputi pengumpulan data, validasi data, pengorganisasian data, dan identifikasi masalah/analisa data. Jenis pengumpulan data ada dua yaitu pengumpulan data dasar  (Data Base Nursing) yang mengumpulkan data secara lengkap pada saat kontrak awal dengan klien dan pengkajian fokus  (Fokus Nursing Assesment) yang mengumpulkan data yang berfokus pada masalah keperawatan spesifik yang sudah diidentifikasi dari hasil pengumpulan data dasar sedangkan tipe data ada dua yaitu data subjektif yang didapatkan dari klien dan data objektif  yang dapat diobservasi dan diukur. Validasi data untuk meyakinkan bahwa data yang diperoleh berdasarkan pengumpulan data adalah fakta. Pengorganisasian data adalah mengelompokan berdasarkan kerangka kerja yang dapat membantu mengidentifikasi masalah keperawatan dan analisa data adalah mengelompokan data sesuai dengan keadaan klien.
Berikut beberapa hal yang perlu dikaji pada klien Cedera Kepala Sedang yaitu: 
a.        Aktivitas/istirahat
  Gejala: Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
 Tanda: Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, quardreplegia,  ataksia cara berjalan tak tegap, masalah dalam keseimbangan, cedera kepala ringan  (trauma ortopedi), kehilangan tonus otot spastik.
b.       Sirkulasi
 Gejala: Perubahan tekanan darah atau normal  (hipertensi),Perubahan frekuensi jantung  (bradikardia, takikardia  yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).


c.       Integritas ego
Gejala: Perubahan tingkah laku atau kepribadian  (tenang atau dramatis).
Tanda: Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi  dan  impulsif.
d.      Eliminasi
Gejala: Inkontinensia kandung kemih/usus atau mengalami  gangguan
            fungsi.
e.       Makanan/cairan
 Gejala:  Mual, muntah, dan mengalami perubahan selera.
       Tanda:  Muntah  (mungkin proyektil). Gangguan menelan (batu air liur keluar, disfagia).
f.       Neuro sensori
Gejala: Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian. Vertigo, sinkope, tinnitus, kehilangan pendengaran, tingling, baal pada ekstremitas. Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia kehilangan sebagian lapang pandang, fotofobia. Gangguan pengecapan dan juga penciuman.
 Tanda: Perubahan kesadaran bisa sampai koma. Perubahan status       mental  (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori). Perubahan pupil  (respon terhadap cahaya, simetris), deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti. Kehilangan penginderaan, seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran. Wajah tidak simetris. Genggaman lemah, tidak seimbang. Refleks tendon dalam tidak ada atau lemah. kejang. Sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan. Kehilangan sensasi sebagian tubuh. Kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.
g.      Nyeri /kenyamanan
Gejala: Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda biasanya lama.
 Tanda: Wajah menyeringai, respons menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa beristirahat, merintih.
h.      Pernapasan
Tanda: Perubahan pola napas  (apnea yang diselingi hiperventilasi). Napas berbunyi, stridor, tersedak. Ronki, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
i.        Keamanan
Gejala:  Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
  Tanda: Fraktur/dislokasi. Gangguan penglihatan. Kulit: laserasi, abrasi, perubahan warna, seperti “raccoon eye”, tanda Batle disekitar telinga  (merupakan tanda adanya trauma). Adanya aliran cairan  (drainase) dari telinga/hidung (cairan serebro spinal). Gangguan kognitif. Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralisis. Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
j.        Interaksi sosial
 Tanda: Afasia motorik/sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang, disartria, anomia.
2.      Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan adalah tahap dimana perawat menggunakan kemampuan berfikir kritis dalam menafsirkan analisa data terhadap kekuatan dan masalah klien (Kozier, et. al, 2004).
Adapun diagnosa keperawatan pada klien cedera kepala sedang  menurut Wahyu, dkk  (2008)  dan Smeltzer dan Bare  (2002) yaitu:
a.       Perubahan perfusi jaringan serebral b.d  trauma kepala, penghentian aliran darah oleh SOL  (space occupaying lesion)  (hemoragi, hematoma); edema serebral  (respons lokal atau umum pada cedera, perubahan metabolik, takar lajak obat/alkohol); penurunan TD (tekanan darah) sistemik/hipoksia  (hipovolemia, disritmia jantung), peningkatan tekanan intrakranial  (PTIK)  (Wahyu, dkk, 2008)
b.      Risiko tinggi terhadap tak efektif pola napas b.d kerusakan neurovaskuler  (cedera pada pusat pernapasan otak); kerusakan persepsi atau kognitif; obstruksi trakeobronkial.  (Wahyu, dkk, 2008)
c.       Perubahan persepsi sensori b.d perubahan resepsi sensori, transmisi dan atau integrasi  (trauma atau defisit neurologis).  (Smeltzer dan Bare, 2002)
d.      Perubahan proses pikir b.d perubahan fisiologis; konflik psikologis.  (Smeltzer dan Bare, 2002)
e.       Kerusakan mobilitas fisik b.d kerusakan persepsi atau kognitif; penurunan kekuatan/tahanan; terapi pembatasan/kewaspadaan keamanan, misal, tirah baring, imobilisasi.  (Wahyu, dkk, 2008)
f.       Defisit perawatan diri b.d kerusakan mobilitas fisik  (Wahyu, dkk, 2008)
g.      Risiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif; penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh; kekurangan nutrisi; respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid); perubahan integritas sistem tertutup kebocoran cairan serebrospinal  (CSS).  (Wahyu, dkk, 2008)
h.      Risiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat keasadaran; kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan;  status hipermetabolik. (Smeltzer dan Bare, 2002).
i.        Perubahan proses keluarga b.d transisi dan krisis situasional; ketidakpastian tentang hasil/ harapan.. (Smeltzer dan Bare, 2002)
j.        Kurang pengetahuan  (kebutuhan belajar) mengenai kondisi     dan kebutuhan pengobatan b.d kurang pemajanan, tidak mengenal informasi/sumber-sumber; kurang mengingat/ keterbatasan kognitif.  (Wahyu, dkk, 2008)

3.      Perencanaan Keperawatan
Perencanaan atau rencana asuhan keperawatan adalah petunjuk tertulis yang menggambarkan secara tepat mengenai rencana tindakan yang dilakukan terhadap klien sesuai dengan kebutuhannya berdasarkan diagnosa keperawatan.
Dalam merumuskan tujuan harus memenuhi syarat yaitu seperti, dapat diukur, dapat dicapai, realitas, dan ada standar mutu, hal ini dimaksudkan agar tindakan keperawatan yang diberikan tidak menyimpang dari masalah yang dihadapi, sehingga tindakan menjadi efisien, efektif dan langsung tertuju pada pemecahan masalah.
Rencana asuhan keperawatan disusun dengan melibatkan klien secara optimal agar dalam pelaksanaan asuhan keperawatan terjalin suatu kerjasama yang saling membantu dalam proses pencapaian tujuan keperawatan dalam memenuhi kebutuhan klien.
Dari diagnosa keperawatan diatas dapat disusun rencana asuhan keperawatan sebagai berikut:
a.       Perubahan perfusi jaringan serebral b.d penghentian aliran darah oleh SOL  (space occupaying lesion)  (hemoragi, hematoma); edema serebral  (respons lokal atau umum pada cedera, perubahan metabolik, takar lajak obat/alkohol); penurunan TD  (tekanan darah) sistemik/hipoksia  (hipovolemia, disritmia jantung).
                                                1)      Tujuan: Perubahan perfusi jaringan serebral tidak terjadi.
                                                2)      Kriteria Hasil: mempertahankan tingkat kesadaran biasa/ perbaikan, kognisi, dan fungsi motorik/sensorik; mendemonstrasikan tanda vital stabil dan tak ada tanda-tanda tekanan intrakranial.
3)   Rencana:
a)Observasi  status neurologis.
Rasional: hasil dari pengkajian dapat diketahui secara dini adanya tanda-tanda PTIK sehingga dapat menentukan arah tindakan selanjutnya. Kecenderungan terjadinya penurunan nilai GCS menandakan adanya peningkatan tekanan intracranial dari normal 0-15 mmHg.
b)      Monitor TTV (TD, nadi, RR, suhu) minimal setiap jam sampai
      keadaan klien stabil.
Rasional: dapat mendeteksi secara dini tanda-tanda peningkatan TIK.
c)      Naikkan kepala dengan sudut 15-450 (tidak hiperekstensi dan
      fleksi) dan posisi netral (dari kepala hingga daerah lumbal
      dalam garis lurus)
Rasional: dengan posisi kepala 15–450 dari badan dan kaki maka akan meningkatkan dan melancarkan aliran balik darah vena kepala sehingga mengurangi kongesti serebrum, edema dan mencegah terjadinya peningkatan TIK. Posisi netral tanpa hiperekstensi dan fleksi dapat mencegah penekanan pada saraf medula spinalis yang menambah peningkatan TIK.
d)     Monitor masukan dan haluaran setiap 8 jam sekali.
Rasional: untuk mencegah kelebihan cairan yang dapat menambah edema serebri sehingga terjadi peningkatan TIK.
e)  Monitor suhu dan atur suhu lingkungan sesuai indikasi.
Rasional: demam menandakan gangguan hipotalamus. Peningkatan kebutuhan metabolik karena demam dan suhu lingkungan yang panas akan meningkatkan TIK.
f)  Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat-obatan anti edema seperti manitol, gliserol dan lasix. Rasional: manitol atau gliserol merupakan cairan hipertonis yang berguna untuk menarik cairan dari intraseluler (sel) keekstraseluler (vaskuler). Lasix untuk meningkatkan ekskresi natrium dan air yang diinginkan, untuk mengurangi edema otak.
b.      Risiko tinggi terhadap tak efektif pola napas b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak); kerusakan persepsi atau kognitif; obstruksi trakeobronkial.
1) Tujuan: pola napas efektif dalam batas normal.
2) Kriteria Hasil: Pola napas dalam batas normal dengan frekuensi 14-
20 kali/menit (dewasa) dan iramanya teratur; bunyi napas normal tidak ada stridor, ronchi, dullness dan wheezing; tidak ada pernapasan cuping hidung; pergerakan dada simetris/tidak ada retraksi; nilai AGD arteri normal, yaitu: pH darah 7,35-7,45; PaO2 80-100 mmHg; PaCO2 35-45 mmHg; HCO3- 22-26 mEq/L; BE-2,5-+2,5; Saturasi O2 95-98%.
3) Rencana:
a)      Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernapasan.
Rasional: perubahan  yang terjadi dari hasil pengkajian berguna dalam menunjukkan adanya komplikasi pulmonal dan luasnya bagian otak yang terkena.
b)      Catat kompetensi reflek gag/menelan dan kemampuan klien
      untuk melindungi jalan napas sendiri.
Rasional: kemampuan memobilisasi atau membersihkan sekresi penting untuk pemeliharaan jalan napas.
c)     Lakukan pengisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari
            15 detik. Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret.
Rasional: penghisapan biasanya dibutuhkan jika klien koma atau dalam keadaan imobilisasi dan tidak dapat membersihkan jalan napasnya sendiri.

d)    Auskultasi suara napas.
Rasional: untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti atelektasis, kongesti atau obstruksi jalan napas yang membahayakan oksigenasi serebral dan menandakan terjadinya infeksi paru.   
e)   Kolaborasi berikan oksigen.
Rasional: memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan       membantu  dalam pencegahan hipoksia.
c.       Perubahan persepsi sensori b.d perubahan resepsi sensori, transmisi dan /atau integrasi (trauma atau defisit neurologit).
1) Tujuan: tidak terjadi perubahan persepsi sensori
2) Kriteria hasil: Melakukan kembali atau mempertahankan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi persepsi, mengakui perubahan dalam kemampuan dan adanya keterlibatan residu, mendemonstrasikan perubahan prilaku atau gaya hidup untuk mengkompensasi atau defisit hasil.
3) Rencana:
a)  Kaji kesadaran sensorik seperti respons sentuhan, panas atau
dingin, benda tajam atau tumpul dan kesadaran terhadap gerakan dan letak tubuh.
Rasional: informasi penting untuk keamanan klien.
b) Catat adanya perubahan yang spesifik dalam hal kemampuan seperti memusatkan kedua mata dengan mengikuti instruksi verbal yang sederhana dengan jawaban “ya” atau “tidak”, makan sendiri dengan  tangan dominan klien.
Rasional: membantu melokalisasi daerah otak yang mengalami gangguan dan mengidentifikasi tanda dan perkembangan terhadap peningkatan fungsi neurologis.
c)   Hilangkan suara bising atau stimulasi yang berlebihan sesuai kebutuhan.
Rasional: menurunkan ansietas, respon emosi yang berlebihan atau bingung yang berhubungan dengan sensorik yang berlebihan.
d)  Pastikan atau validasi persepsi klien dan berikan umpan balik
Rasional: membantu klien untuk memisahakan pada realitas dari perubahan persepsi.
e)   Berikan lingkungan terstruktur termasuk terapi, aktivitas.
Rasional: meningkatkan konsistensi dan keyakinan yang dapat menurunkan ansietas yang berhubungan dengan ketidaktahun klien tersebut.
f) Berikan kesempatan yang lebih banyak untuk berkomunikasi dan melakukan aktivitas.
Rasional: menurunkan frustasi.
g)   Kolaborasi dengan ahli fisioterapi, terapi okupasi, terapi wicara, dan terapi kognitif.
Rasional: pendekatan antar disiplin dapat menciptakan rencana penatalaksnaan integrasi yang didasarkan atas kombinasi kemampuan/ ketidakmampuan secara individu yang berfokus pada peningkatan evaluasi dan fungsi fisik, kognitif, dan keterampilan perseptual.

d.      Perubahan proses pikir b.d perubahan fisiologis; konflik psikologis.
1) Tujuan: perubahan proses pikir tidak terjadi.
2) Kriteria hasil: Mempertahankan/melakukan kembali orientasi
     mental dan realitas biasanya, mengenali perubahan
     berpikir/perilaku, berpartisipasi dalam aturan terapeautik.
3) Rencana:
a)   Pastikan dengan orang terdekat untuk membandingkan
kepribadian/tingkah laku klien sebelum mengalami trauma dengan respon klien sekarang.
Rasional: masa pemulihan cedera kepala ringan meliputi fase agitasi, respons marah dan berbicara/proses pikir yang kacau.
b)  Dengarkan dengan penuh perhatian semua hal yang
     diungkapkan klien.
Rasional: perhatian dan dukungan yang diberikan pada individu akan meningkatkan harga diri dan mendorong kesinambungan usaha tersebut.
c)   Tingkatkan sosialisasi dalam batas-batas yang wajar.
Rasional: penguatan terhadap tingkah laku yang positif (seperti interaksi yang sesuai dengan orang lain) mungkin bermanfaat dalam proses belajar struktur internal.
d)  Anjurkan untuk melakukan teknik relaksasi.
Rasional: dapat membantu untuk memfokuskan kembali perhatian klien dan untuk menurunkan ansietas.
e.       Kerusakan mobilitas fisik b.d kerusakan persepsi atau kognitif; penurunan kekuatan/tahanan; terapi pembatasan/kewaspadaan keamanan, misal, tirah baring, imobilisasi.
1) Tujuan: mampu melakukan aktivitas fisik dan ADL (activity daily living), tidak terjadi komplikasi dekubitus, bronkopneumonia, tromboplebitis dan kontraktur sendi.
2)   Kriteria hasil: Klien mampu dan pulih kembali setelah pasca akut
dalam mempertahankan fungsi gerak, tidak terjadi dekubitus, bronkopneumonia, tromboplebitis dan kontraktur sendi, mampu mempertahankan keseimbangan tubuh, mampu melakukan aktivitas ringan pasca akut dan aktivitas sehari-hari pada tahap rehabilitasi sesuai kemampuan.
3)  Rencana:
a)   Kaji tingkat kemampuan mobilisasi dengan skala 0–4.
Rasional: Untuk menentukan tingkat aktivitas dan bantuan yang diberikan.
b)  Atur posisi dan ubah secara teratur tiap 2 jam sekali.
Rasional: merubah posisi secara teratur dapat meningkatkan sirkulasi seluruh tubuh dan mencegah adanya penekanan pada organ tubuh yang menonjol.
c)   Berikan/bantu untuk melakukan latihan rentang gerak.
Rasional: mempertahankan fungsi sendi dan mencegah penurunan tonus dan kekuatan otot dan mencegah kontraktur.
d)  Lakukan massage, perawatan kulit, dan mempertahankan alat
     alat tenun bersih dan kering.
Rasional: meningkatkan sirkulasi, elastisitas kulit dan integritas kulit. 


f.       Defisit perawatan diri b.d kerusakan mobilitas fisik
1)      Tujuan: klien mampu melakukan aktivitas fisik dan kebutuhan personal hygiene dan kebutuhan sehari-hari klien dapat terpenuhi
2)      kriteria hasil: klien mampu dan pulih kembali setelah kecelakaan dan klien tampak segar, badan klien tampak bersih, rambut klien tampak bersih dan rapi, kuku klien pendek dan bersih, gigi klien tampak bersih.
3)      Rencana:
a)      Kaji kemampuan klien
Rasional: Untuk mengetahui kemampuan yang di miliki klien dan untuk mengetahui tingkat kekuatan dan kemampuan klien
b)      Bantu klien dalam aktivitas (bantu klien bangun dari tempat tidur),
Rasional: Untuk merelaksasi otot klien
c)      Kaji kekuatan tonus otot
Rasional: Untuk mengetahui kemampuan yang di miliki klien dan untuk mengetahui tingkat kekuatan dan kemampuan klien
d)     Bantu klien dalam personal hygiene, mandi, perawatan kuku jari kaki dan tangan, ganti alat tenun. Ganti alat tenun
Rasional: Untuk memenuhi kebutuhan personal hygiene klien
e)      Anjurkan klien untuk Range of motion jika tidak ada indikasi Rencana: Untuk melatih kekuatan otot dan relaksasi
f)       Kolaborasi dengan ahli fisioterapi dalam melakukan latihan fisik
Rasional: Untuk melatih kekuatan otot dan mencegah artrofi otot
g.      Risiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif; penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh; kekurangan nutrisi; respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid); perubahan integritas sistem tertutup kebocoran cairan serebrospinal (CSS).
1).       Tujuan: Infeksi tidak terjadi.
2).       Kriteria hasil: tidak terdapat tanda-tanda infeksi seperti rubor,
       dolor, kalor, tumor dan fungsiolesa; tidak ada pus.
3).       Rencana:
a)   Observasi  daerah luka.
Rasional: deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.
b)   Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan
        perawatan secara aseptik dan anti septik.
Rasional: untuk mencegah infeksi nosokomil. Anjurkan untuk melakukan nafas dalam.
Rasional: peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi paru untuk menurunkan risiko terjadinya pneumonia, atelektasis.
c)   Anjurkan untuk melakukan nafas dalam
Rasional: peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi paru untuk menurunkan resiko terjadinya pneumonia, etelektasis.
d)  Monitor suhu tubuh dan penurunan kesadaran.
Rasional: untuk mendeteksi tanda-tanda sepsis.
e)   Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat antibiotik
Rasional: antibiotik berguna untuk membunuh atau memberantas bibit penyakit yang  masuk ke dalam tubuh sehingga infeksi dapat dicegah.
f)    Kolaborasi dengan tim analis untuk pemeriksanaan
      laboratorium  (kadar leukosit).
Rasional: kadar leukosit darah dan urin adalah indikator dalam menentukan adanya infeksi.
h.      Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat keasadaran; kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah,menelan; status hipermetabolik.
(1)      Tujuan: kekurangan nutrisi tidak terjadi.
(2)      Kriteria hasil: BB klien normal (BB normal = TB–100– (10 % TB-100), tanda-tanda nutrisi tidak ada, nilai-nilai hasil laboratorium normal (protein total 6–8 gram %, albumin 3,5–5,3 gr %, globulin 1,8–3,6 gr %, Hb tidak kurang dari 10 gr %)
(3)      Rencana:
a)    Observasi kemampuan mengunyah, menelan, reflek batuk dan cara mengeluarkan sekret.
Rasional: dapat menentukan pilihan cara pemberian jenis makanan.
b)   Auskultasi bising usus.
Rasional:  fungsi saluran pencernaan harus tetap dipertahankan pada penderita cedera kepala ringan. Perdarahan lambung akan menurunkan peristaltik. Bising usus membantu untuk menentukan pemberian makanan dan mencegah komplikasi.
c)    Timbang berat badan.
Rasional: penimbangan berat badan dapat mendeteksi perkembangan berat badan.
d)   Berikan makanan dalam porsi sering tapi sedikit.
Rasional: memudahkan proses pencernaan dan toleransi klien terhadap nutrisi.
e)    Tinggikan kepala ketika makan.
Rasional:  mencegah regurgitasi dan aspirasi.
f)    Kolaborasi dengan tim analis untuk pemeriksaan            laboratorium (protein total, globulin, albumin dan Hb)
Rasional:  untuk mengidentifikasi defisiensi nutrisi.
i.        Perubahan proses keluarga b.d transisi dan krisis situasional ketidakpastian tentang hasil/ harapan.
1) Tujuan: keluarga dapat beradaptasi terhadap perubahan pengalaman
     traumatik secara konstruktif.
2) Kriteria hasil: mulai mengekspresikan perasaan dengan  bebas dan
     tepat, mendorong dan memungkinkan anggota yang cedera untuk
     maju untuk ke arah kemandirian.

3) Rencana:
a)    Catat bagian-bagian dari unit keluarga, dengan keberadaan/ keterlibatan sistem pendukung.
   Rasional: menentukan adanya sumber keluarga dan mengindentifikasikan       hal-hal yang diperlukan.
b)   Anjurkan keluarga untuk mengungkapkan hal-hal yang menjadi perhatiannya.
   Rasional: pengungkapan tentang rasa takut secara terbuka dapat menurunkan ansietas dan meningkatkan koping terhadap realitas.
c)    Anjurkan untuk mengakui perasaannya.
   Rasional: untuk membantu seseorang menyatakan perasaannya tentang apa yang sedang terjadi. 
d)   Berikan penguatan awal terhadap penjelasan tentang luasnya trauma, rencana pengobatan dan prognosisnya.
   Rasional: dapat membantu menurunkan konsepsi yang keliru.
j.        Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan b.d kurang pemajanan, tidak mengenal informasi/sumber-sumber; kurang mengingat/ keterbatasan kognitif.
1) Tujuan: dapat berpartisipasi dalam proses belajar.
2) Kriteria hasil: mengungkapkan pemahaman tentang kondisi, aturan
     pengobatan, potensial komplikasi.
3) Rencana:
a)   Evaluasi kemampuan dan kesiapan untuk belajar dari klien dan keluarganya.
      Rasional: memungkinkan untuk menyampaikan bahan yang             didasarkan atas kebutuhan secara individual.
b)  Diskusikan rencana untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri.
      Rasional: berbagai tingkat bantuan mungkin perlu direncanakan  yang  didasarkan atas kebutuhan yang bersifat individual.
c)  Berikan instruksi dalam bentuk tulisan.
      Rasional: memberikan penguatan visual dan rujukan setelah             sembuh.
d) Berikan kembali informasi yang berhubungan dengan proses trauma dan pengaruh sesudahnya.
      Rasional: membantu dalam menciptakan harapan yang          realistis dan    meningkatkan pemahaman pada keadaan saat ini      dan kebutuhannya.
e)   Berikan penguatan terhadap pengobatan yang diberikan sekarang.
Rasional: aktivitas, pembatasan, pengobatan yang     direkomendasikan     diberikan atas dasar pendekatan dan           evaluasi amat penting untuk perkembangan   pemulihan/pencegahan terhadap komplikasi.

4.      Implementasi keperawatan
Pelaksanaan merupakan langkah keempat dalam proses keperawatan dengan melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan yang telah direncanakan dalam rencana tindakan keperawatan (Hidayat AA, 2004).

Menurut Gaffar, LOJ, (2002), implementasi merupakan pelaksanaan perencanaan keperawatan oleh perawat dan klien. Hal-hal yang harus diperhatikan ketika melakukan implementasi adalah intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi, penguasaan keterampilan interpersonal, intelektual, dan teknikal. Intervensi harus dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi yang tepat, keamanan fisik dan psikologi dilindungi dan dokumentasi keperawatan berupa pencatatan dan pelaporan.

5.      Evaluasi keperawatan
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaan sudah berhasil dicapai (Nursalam, 2005).
Sedangkan menurut Hidayat AA, (2004), evaluasi merupakan tahapan akhir dari proses keperawatan. Evaluasi menyediakan nilai informasi mengenai pengaruh intervensi yang telah direncanakan dan merupakan perbandingan dari hasil yang diamati dengan kriteria hasil yang telah dibuat pada tahap perencanaan.






B.     Landasan Teori Kasus
1.    Anatomi Fisiologi Cerebri
      Sistem persyarafan terdiri dari otak, saraf perifer dan medula spinalis. Struktur – struktur ini berfungsi untuk kontrol dan koordinasi aktivitas sel tubuh melalui impuls-impuls elektrik (Smeltzer dan Bare , 2002).

Gambar 1. Anatomi Otak manusia
( wikimu: 2008 )
Motor korteks
LOBUS FRONTAL
Cerebral corteks
LOBUS PARIETAL
LOBUS OCCIPITAL
Corpus collosum
Cerebellum
LOBUS TEMPORAL
Thalamus
Hypothalamus
Amygdala
 













a.    Otak
      Otak merupakan alat tubuh yang sangat penting karena merupakan pusat komputer dari semua alat tubuh. Otak terdiri dari:
1)   Otak besar ( Serebrum)
      Serebrum merupakan bagian otak yang paling besar dan yang paling menonjol. Disini terletak pusat-pusat yang mengatur semua kegiatan sensorik dan motorik, juga mengatur proses penalaran, memori, dan inteligensi. Pada otak besar ditemukan beberapa lobus yaitu:
a)    Lobus Frontal
      Lobus frontalis mencakup bagian dari korteks serebrum bagian depan yaitu dari sulkus sentralis dan di dasar sulkus lateralis. Lobus frontalis bertanggung jawab untuk prilaku bertujuan, penentuan keputusan moral, dan pemikiran yang kompleks.
b)   Lobus Parietalis
      Lonus parietalis terletak di belakang sulkus sentralis, di atas fisura lateralis, dan meluas ke belakang ke fisura parieto-oksipitalis. Lobus parietalis merupakan area sensorik primer otak untuk sensasi raba dan pendengaran.
c)    Lobus Oksipitalis
      Lobus oksipitalis terletak di sebelah posterior dari lobus parietalis dan di atas fisura-oksipitalis, yang memisahkannya dari serebrum. Lobus ini menerima informasi yang berasal dari retina mata.
d)   Lobus Temporalis
      Lobus temporalis mencakup bagian korteks serebrum yang berjalan ke bawah dari fisura lateralis dan ke sebelah posterior dari fisura parieto-oksipitalis. Lobus ini terlibat dalam interpretasi bau dan penyimpanan memori.
2)   Otak kecil ( Serebelum)
      Serebelum terletak di dalam fosa kranii posterior dan ditutupi oleh durameter yang menyerupai atap tenda, yaitu tentorium, yang memisahkannya dari bagian posterior serebrum. Ada dua fungsi utama serebelum, meliputi:
a)    Mengatur otot-otot postural tubuh
b)    Melakukan program akan gerakan-gerakan pada keadaan sadar maupun bawah sadar.
      Serebelum mengkoordinasi penyesuaian secara tepat dan otomatis dengan memelihara keseimbangan tubuh. Serebelum merupakan pusat refleks yang mengkoordinasi dan memperhalus gerakan otot, serta mengubah tonus, dan kekuatan kontraksi untuk mempertahankan keseimbangan dan sikap tubuh.
3)   Batang otak
      Batang otak terletak pada fosa anterior, bagian – bagian batang otak terdiri dari:
a)    Diensefalon
      Diensefalon Bagian batang otak paling atas terdapat diatara serebelum dengan mensensefalon. Fungsi diensefalon adalah memproses rangsang sensorik dan membantu mencetuskan atau memodifikasi reaksi tubuh terhadap rangsang-rangsang tersebut.
b)   Mesensefalon ( otak tengah)
      Merupakan bagian pendek dari batang otak yang letaknya di atas pons. Bagian ini mencakup bagian posterior, yaitu tektum yang terdiri atas kolikuli superior dan kolikuli inferior serta bagian anterior, yaitu pedunkulus serebri. Kolikuli superior berperan dalam refleks penglihatan dan koordinasi gerakan penglihatan, kolikuli inferior berperan dalam refleks pendengaran, misalnya menggerakkan kepala ke arah datangnya suara.
c)    Pons
      Merupakan serabut yang menghubungkan kedua hemisfer serebelum serta menghubungkan mesensefalon di sebelah atas dengan medula oblongata. Bagian bawah pons berperan dalam pengaturan pernapasan. Nukleus saraf kranial V ( trigeminus), VI ( abdusen), dan VII ( fasialis) terdapat di sini.
d)   Medula oblongata
      Merupakan pusat refleks yang pentinh untuk jantung, vasokonstriktor, pernapasan, bersin, batuk, menelan, pengeluaran air liur, dan muntah.

b.    Saraf-saraf perifer
Syaraf kranial terdiri dari:
1)        Nervus olfaktorius ( sensorik)
Fungsi sebagai penciuman
2)        Nervus optikus ( sensorik)
Fungsi sebagai penglihatan
3)        Nervus okulomotorius ( motorik)
Fungsinya sebagai mengangkat kelopak mata atas
4)        Nervus troklearis ( motorik)
Fungsi sebagai gerakan mata ke bawah dan ke dalam
5)        Nervus abdusen ( motorik)
Fungsi sebagai deviasi mata ke lateral
6)        Nervus trigeminus ( motorik)
Otot temporalis dan maseter ( menutup rahang dan mengunyah) gerakan rahang ke lateral
7)        Nervus fasialis (motorik)
Fungsi sebagai pengecapan, salivasi, lakrimasi dan pergerakan otot wajah
8)        Nervus vestibularis ( sensorik)
Fungsi sebagai keseimbangan
9)        Nervus glosofaringeus ( motorik)
Fungsi sebagaipengecapan, sensasi lain dari lidah, salivasi, dan menelan
10)    Nervus vagus ( motorik)
Fungsi sebagai menelan, monitor kadar oksigendan karbondioksida, dan tekanan darah
11)    Nervus aksesorius ( motorik)
Fungsi sebagai produksi suara di laring, pergerakan kepala dan bahu
12)    Nervus hipoglosus ( motorik)
Fungsi sebagai pergerakan lidah

c.    Medula spinalis
      Medula spinalis merupakan bagian susunan syaraf pusat yang terletak didalam kanalis vetebralis. Medula spinalis  dan batang otak membentuk struktur kontinu yang keluar dari hemisfer serebral dengan memberikan tugas sebagai penghubung otak dan saraf perifer, seperti kulit dan otak. Panjangnya kira-kira 45 cm dan menipis pada jari-jari.medula sepinalis terdiri dari 33 segmen yaitu 7 segmen servikal, 12 torak, 5 lumbal, 5 sakral dan 5 segmen koksigius. Medula spinalis mempunyai 31 pasang saraf  spinal;masing-masing segmen mempunyai satu untuk setiap sisi tubuh. Medula spinalis dikelilingi oleh meningen, dura, araknoid dan pia meter. medula spinalis berbebtuk H dengan badan sel saraf dikelilingi traktus asenden dan desenden. (Smeltzer dan Bare, 2002) & (Syaifuddin, 2006).
   
2.    Pengertian cedera kepala sedang
Cidera kepala adalah kerusakan jaringan otak yang diakibatkan oleh adanya trauma (benturan benda atau serpihan tulang) yang menembus atau merobek suatu jaringan  otak, oleh pengaruh suatu kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak dan akhirnya oleh efek percepatan perlambatan pada otak yang terbatas pada kompartemen yang kaku (Price & Wilson, 2005).
Cedera kepala sedang adalah trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak (Smeltzer dan Bare, 2002)
Cedera kepala sedang adalah trauma yang mengenai otak yang disebabkan oleh kekuatan eksternal yang menimbulkan perubahan kemampuan kognitif, fungsi fisik, fungsi tingkah laku dan emosional. (Wahyu, dkk, 2008)
Kesimpulan dari cedera kepala sedang adalah suatu trauma atau gangguan fungsi otak yang mengenai kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang   disebabkan oleh injuri, trauma tumpul atau trauma tusuk.
Cedera kepala dapat diklasifikasikan menjadi:
a.       Cedera kepala ringan/Mild Head Injury (GCS 13-15 dengan     kehilangan kesadaran kurang dari 0-15 menit)
b.      Cedera kepala sedang/Moderat Head Injury (GCS 9-12 dengan  kehilangan kesadaran sampai dengan 6 jam)
c.       Cedera kepala berat/Savere Head Injury (GCS 3-5 dengan kehilangan kesadaran > 6 jam)

3.      Etiologi
Jatuh; kecelakaan kendaraan motor, sepeda dan mobil; kecelakaan pada saat olahraga. (Suriadi dan Yuliani, 2005)




















4.      Patofisiologi

Trauma langsung/ Benturan
Cedera fokal                                                         cedera difus
 

Memar otak, hematom epidural, Subdural, intraserebral            Gangguan fungsional
                                                                 Gelombang kejut Pada seluruh arah

                  Mengubah tekanan jaringan otak

Tekanan jaringan otak akan meningkat

    Jaringan otak akan rusak coup Suplay darah keotak menurun
Gangguan suplay oksigen dan glukosa pada sel

     Gangguan metabolisme ( anaerob)
  
  Penumpukan asam laktat
 

       Udem

       Herniasi pada foramen tentorium, magnum/ falks serebrum
  
       Iskemi             Nekrosis
         Mati
Gambar 2. Patofisiologi Cedera Kepala Sedang (Sjamsuhidayat & jong, 2005)

 
5.      Tanda dan gejala
Tanda dan gejala yang terjadi pada klien cedera kepala sedang menurut Corwin ( 2009) adalah:
a.       Pada konkusio, segera terjadi kehilangan kesadaran
b.      Pada hematom, kesadaran mungkin hilang segera atau bertahap seiring dengan membesarnya hematom
c.       Pola pernapasan dapat secara progesif menjadi abnormal
d.      Respon pupil mungkin lenyap atau secara progesif memburuk
e.       Nyeri kepala dapat muncul segera atau bertahap seiring dengan peningkatan tekanan intrakranium
f.       Dapat timbul muntah-muntah akibat peningkatan tekanan intrakran
Menilai tingkat keparahan  menurut Mansjoer, dkk. (2009) adalah:
a.        Cedera kepala ringan ringan (kelompok risiko rendah)
1)      Skor skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, atentif, dan          orientatif
2)      Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya konkusi)
3)      Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
4)      Klien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
5)      Klien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit     kepala
6)      Tidak adanya kriteria cedera sedang berat
b.       Cedera kepala ringan sedang (kelompok risiko sedang)
1)      Skor skala koma Glasgow 9-14 (konfusi, latergi, atau stupor)
2)      Konkusi
3)      Amnesia pasca-trauma
4)      Muntah
5)      Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda Battle, mata    rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebrospinal)
6)      Kejang
c.        Cedera kepala ringan berat (kelompok risiko berat)
1)      Skor skala koma Glasgow 3-8 (koma)
2)      Penurunan derajat kesadaran secara progesif
3)      Tanda neurologis fokal
4)      Cedera kepala ringan penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium
6.      Pemeriksaan diagnostik
Pada klien cedera kepala sedang dilakukan pemeriksaan diagnostik sebagai berikut:
a.       Tomografi komputerisasi atau pencitraan resonan magnetik untuk mengidentifikasi dan melokalisir lesi, edema serebral, pendarahan
b.      Sinar X tengkorak dan spinal servikal untuk mengidentifikasi fraktur dan dislokasi
c.       Uji neuropsikologis selama fase rehabilitasi untuk menentukan defisit kognitif  
d.      Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma
e.       BAER (Brain Auditory Evoked Respons), menentukan fungsi korteks dan batang otak
f.       PET (Positron Enission Tomography), menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme pada otak
g.      Pungsi lumbal: dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan subarakhnoid
h.      GDA (Gas Darah Arteri): mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenisasi yang akan dapat meningkatkan TIK                ( Doenges, 2006 )

7.      Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada klien dengan cedera kepala ringan menurut Corwin (2009) adalah:
a.       Konkusio ringan atau sedang biasanya diterapi dengan observasi dan tirah baring
b.      Untuk cedera kepala ringan terbuka di perlukan antibiotik
c.       Metode-metode untuk menurunkan tekanan intrakranium termasuk pemberian diuretik dan obat anti inflamasi
d.      Mungkin diperlukan ligasi pembuluh darah yang pecah dan evakuasi hematoma secara bedah