KANKER KOLON RECTUM..
A.
Konsep
Dasar Kolon dan Rektum
1.
Pengertian
Usus besar
adalah bagian dari sistem pencernaan. Sebagaimana kita ketahui sistem
pencernaan dimulai dari mulut, lalu kerongkongan (esofagus), lambung,
usus halus (duodenum, yeyunum, ileum), usus besar (kolon),
rektum dan berakhir di dubur. (Adil Pasaribu, 2008).
Usus besar merupakan bagian akhir dari proses pencernaan, karena
sebagai tempat pembuangan, maka di usus besar sebagian nutrien telah dicerna
dan di absorbsi dan hanya menyisakan zat-zat yang tidak tercerna. (Setiadi,
2007).
Kolon adalah bagian usus besar antara usus buntu dan poros usus,
yang terdiri dari kolon ascending, tranversum, descending, dan sigmoid. Rectum adalah ujung usus besar sebagai
kelanjutan usus besar sigmoid sampai ke dubur. (Hendra T. Laksmana, 2005).
2.
Anatomi
Fisiologi Usus Besar
Panjang kolon ± 1,5 m, lebarnya 5-6 cm. Lapisan-lapisan usus besar
dari dalam ke luar adalah selaput lendir, lapisan otot melingkar, lapisan otot
memanjang dan jaringan ikat. Ukurannya lebih besar daripada usus halus, disini
terdapat taenia coli dan apendiks epiploika, mukosanya lebih halus daripada
usus halus dan tidak memiliki vili, tidak memiliki lipatan-lipatan sirkuler (plicea
circulars). Serabut-serabut otot longitudinal dalam musculus externa
membentuk tiga pita, taenia coli yang menarik kolon menjadi kantong-kantong
besar yang disebut haustra. Dibagian bawah terdapat katup ileosekal yaitu katup
antara usus halus dan usus besar. Katup ini tertutup dan akan terbuka untuk merespon
gelombang peristaltik, sehingga memungkinkan kimus mengalir 15 ml sekali masuk
dan total aliran sebanyak 500 ml/hari.
Gambar
1. Anatomi kolon dan rectum
(Sumber
: www.drarief.com/?p=68)
Dinding
usus besar terdiri dari beberapa lapisan:
a.
Tunica
mucosa
Struktur
ini tidak memiliki vili intestinalis dan terdiri dari:
1).
Epitel,
berbentuk silindris selapis dengan sel piala. Banyak ditemukan sel argentafin
dan kadang-kadang sel paneth.
2).
Lamina
propria, hampir seluruhnya terisi oleh jaringan limfoid dengan adanya pula
nodulus Lymmphaticus yang tersusun berderet-deret sekeliling lumen. Diantaranya
terdapat crypta lieberkuhn.
3).
Lamina
muscularis mucosa, sangat tipis dan terdesak oleh jaringan limfoid dan
kadang-kadang terputus-putus.
b.
Tunica
submucosa
Tebal,
biasanya mengandung sel-sel lemak dan infiltrasi limfosit yang merata. Di dalam
jariangan tunica submucosa terdapat anyaman pembuluh darah dan saraf.
c.
Tunica
muscularis
Walaupun
tipis, tapi masih dapat dibedakan adanya lapisan dua lapisan.
d.
Tunica
serosa
Tunica
serosanya mempunyai struktur yang tidak berbeda dengan yang terdapat pada
intestinum tenue. Kadang-kadang pada potongan melintang dapat diikuti pula
mesoappendix yang merupakan alat penggantung sebagai lanjutan peritoneum
viscerale.
Usus besar dibagi menjadi sekum,
kolon, dan rektum. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks yang
melekat pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci pertama
dari usus besar. Katup ileosekal mengendalikan aliran kimus dan ileum ke dalam
sekum dan mencegah terjadinya aliran balik bahan fekal dan usus besar ke dalam
usus halus. Kolon dibagi lagi menjadi kolon asenden, transversum,
desenden, dan sigmoid . Tempat kolon membentuk kelokan tajam pada abdomen kanan
dan kiri atas berturut-turut disebut sebagai fleksura hepatika dan fleksura
lienalis. Kolon sigmoid mulai setinggi krista iliaka dan membentuk lekukan
berbentuk-S. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri sewaktu kolon sigmoid bersatu
dengan rektum, dan hal ini merupakan alasan anatomis, mengapa memposisikan
penderita kesisi kiri saat pemberian enema. Pada posisi ini, gaya gravitasi
membantu mengalirkan air dan rektum ke fleksura sigmoid. Bagian utama usus
besar yang terakhir disebut sebagai rektum dan membentang dan kolon sigmoid
hingga anus (muara ke bagian luar tubuh). Satu inci terakhir dan rektum disebut
sebagai kanalis ani dan dilindungi oleh otot sfingter ani eksternus dan
internus. Panjang rektum dan kanalis ani adalah sekitar 15 cm (5,9 inci).
Usus besar
secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan berdasarkan pada suplai
darah yang diterima. Arteria mesenterika superior mendarahi belahan kanan
(sekum, kolon asendens, dan dua pertiga proksimal koion transvensum), dan arteria
mesenterika inferior mendarahi belahan kiri (sepertiga distal kolon
transversum, kolon desendens, kolon sigmoid, dan bagian proksimal rektum).
Suplai darah tambahan ke rektum berasal dari arteri hemoroidalis media dan
inferior yang dicabangkan dan arteria iliaka interna dan aorta abdominalis.
Aliran balik
vena dari kolon dan rektum superior adalah melalui vena mesenterika superior,
vena mesenterika inferior, dan vena hemoroidalis superior (bagian sistem portal
yang mengalirkan darah ke hati). Vena hemoroidalis media dan inferior
mengalirkan darah ke vena iliaka sehingga merupakan bagian sirkulasi sistemik.
Terdapat anastomosis antara vena hemoroidalis superior, media, dan inferior,
sehingga tekanan portal yang meningkat dapat menyebabkan terjadinya aliran
balik ke dalam vena dan mengakibatkan hemoroid.
Persarafan usus
besar dilakukan oleh sistem saraf otonom dengan perkecualian sfingter ekstema
yang berada dalam pengendalian voluntar. Serabut parasimpatis berjalan melalui
saraf vagus ke bagian tengah kolon transversum, dan saraf pelvikus yang berasal
dari daerah sakral menyuplai bagian distal. Serabut simpatis meninggalkan
medula spinalis melalui saraf splangnikus. Serabut saraf ini bersinaps dalam
ganglia seliaka dan aortikorenalis, kemudian serabut pasca ganglionik menuju
kolon. Rangsangan simpatis menghambat sekresi dan kontraksi, serta merangsang
sfingter rektum. Rangsangan parasimpatis mempunyai efek yang berlawanan.
Proses mekanisme defekasi dapat dijelaskan sebagai berikut. Sebagian penyerapan berlangsung di separuh
atas kolon. Dari sekitar 1000 ml kimus yang masuk ke usus besar setiap hari,
hanya 100 ml cairan dan hampir tidak ada elektrolit yang di ekskresikan. Selain
air juga terdapat bakteri yang mati sebagai pembentuk feses, bahan makanan kasar
yang tidak dapat di cerna dan sejumlah kecil protein, juga terdapat kandungan
bilirubin sebagai pembentuk warna feses.
Proses eliminasi, atau defekasi, terjadi
karena kontraksi peristaltik rektum. Reaksi ini di rangsang oleh
otot polos longitudinal dan sirkular oleh pleksus mientrikus. Di rangsang oleh
saraf parasimpatis yang berjalan di segmen sekrum korda spinalis. Peregangan
mekanis terhadap rektum oleh tinja juga merupakan perangsang pristaltis yang
kuat. Sewaktu gelombang pristaltik dimulai, sfingter anus internus, suatu otot
polos, melemas. Apabila sfingter anus eksternus juga melemas maka akan terjadi
defekasi.
Fungsi
usus besar antara lain :
a.
Menyerap
air dan elektrolit 80% sampai 90% dari makanan dan mengubah dari cairan menjadi
massa.
b.
Tempat
tinggal sejumlah bakteri coli, yang mampu mencerna sejumlah kecil selulosa dan
memproduksi sedikit kalori nutrient bagi tubuh dalam setiap hari.
c.
Memproduksi
vitamin antara lain vitamin K, ribovlafin, dan tiamin serta berbagai gas
seperti NH3, CO2,H2S, dan CH4 yang
jumlah normalnya setiap hari dihasilkan sebanyak 7-10 liter.
d.
Penyiapan
selulosa yang berupa hidrat arang dalam tumbuh-tumbuhan, buah-buahan dan
sayur-sayuran hijau.
Rektum dibedakan menjadi 2 bagian :
a.
Pars
ampullaris recti
Sebagian
besar tidak banyak berbeda strukturnya dengan colon. Glandula intestinalis
merupakan yang terpanajang diantara kelenjar usus. Kemudian makin jarang,
memendek dan menghilang pars analis recti. Jaringan limfoid lebih sedikit
daripada digeolony. Tunica muscularisnya terdiri dari dua lapisan tetapi tidak
terdapat taenia lagi. Tunica serosa diganti oleh tunica adventitia, hingga
tidak dilapisi oleh mesotil.
b.
Pars
analis recti
Tunica
mucosa membentuk lipatan longitudinal, sebanyak sekitar 8 buah. Lipatan
longitudinale ini disebut Columna rectalis Norgagni.Ujung lipatan-lipatan
tersebut bersatu membatasi lubang anus. Maka terbentuk sebagai katup valvula
analis dan ruang yang disebut sinus analis. Pada apeks katup anus, epitel
silindris rektum digantikan langsung oleh epitel gepeng berlapis tanpa
kornifikasi dari saluran anus. Kelenjar intestinal berakhir di sini, lamina
propria rektum digantikan oleh jaringan ikat padat ireguler dalam lamina
propria saluran anus. Submukosa rektum bersatu dengan lamina propria saluran
anus.
Lamina
propria dan submukosa keduanya amat vaskular pada daerah ini. Plexus
haemoroidalis interna yang terdiri dari vena terletak di dalam mukosa saluran
anus dan pembuluh darah meluas dari sini ke dalam submukosa rektum. Hemoroid
interna adalah hasil dilatasi patologik dari pembuluh-pembuluh ini. Hemoroid
eksterna berkembang dari pembuluh-pembuluh plexus venosum eksterna pada bibir
anus.
Stratum
circulare tunica musculoaris pada akhirnya akan menebal membentuk m.spincter
ani internum. Sedangkan diluarnya terdapat bekas-bekas otot yang bergerak
melingkar membentuk m.spincter ani externus.
Pada
akhir pars analis recti terdapat perubahan epitil, dari epitil silindris
selapis menjadi epitil gepeng berlapis tanpa keratinisasi. Daerah perubahan
tersebut melingkar, disebut liner anorectale. Lebih lanjut epitil gepeng
terlapis tadi akan mengalami keratinisasi dan batasnya yang membentuk lingkaran
disebut liniaanucutanea. Di daerah ini mulai muncul folikel-folikel rambut
dengan glandula sebacea. Galndula suderifera bersifat apokrin seperti di
axilla, disebut glndula circum-anale yang berbentuk tubuler.
Defekasi sebagian merupakan reflex, sebagian lagi merupakan
aktivitas volunter (yaitu dengan mengejan terjadi kontraksi diafragma dan otot
abdominal) untuk meningkatkan tekanan intra abdomen.
Pada umumnya
usus besar bergerak secara lambat. Gerakan usus besar yang khas adalah gerakan
pengadukan haustral. Kantong atau haustra meregang dan dan waktu ke waktu otot
sirkular akan berkontrasi untuk mengosongkannya. Gerakan ini tidak progresif,
tetapi menyebabkan isi usus bergerak bolak-balik dan meremas-remas sehingga memberi
cukup waktu untuk terjadinya absorpsi. Terdapat dua jenis peristaltik propulsif
(1) kontraksi lambat dan tidak teratur, berasal dari segmen proksimal dan
bergerak ke depan, menyumbat beberapa haustral dan (2) peristaltik massa,
merupakan kontraksi yang melibatkan segmen kolon. Gerakan
peristaltik ini menggerakkan massa feses ke depan, akhirnya merangsang
defekasi. Kejadian ini timbul dua sampai tiga kali sehari dan dirangsang oleh
refleks gastrokolik setelah makan, terutama setelah makanan yang pertama kali
dimakan pada hari itu.
Propulsi feses
ke dalam rektum menyebabkan terjadinya distensi dinding rektum dan merangsang
refleks defekasi. Defekasi dikendalikan oleh sfingter ani eksterna dan interna.
Sfingter intema dikendalikan oleh sistem saraf otonom, sedangkan sfingter
eksterna dikendalikan oleh sistem saraf voluntar. Refleks
defekasi terintegrasi pada medula spinalis segmen sakral kedua dan keempat.
Serabut parasimpatis mencapai rektum melalui saraf splangnikus panggul dan
menyebabkan terjadinya kontraksi rektum dan refaksasi stingter intema. Pada
waktu rektum yang teregang berkontraksi, otot levator ani berelaksasi, sehingga
menyebabkan sudut dan anulus anorektal menghilang. Otot sfingter interna dan
eksterna berelaksasi pada waktu anus tertarik ke atas melebihi tinggi massa
feses. Defekasi dipercepat dengan tekanan intra abdomen yang meningkat akibat
kontraksi voluntar otot dada dengan glotis yang tertutup, dan kontraksi otot
abdomen secara terus-menerus (manuver atau peregangan Valsalva). Defekasi dapat
dihambat oleh kontraksi voluntar otot stingter eksterna dan levator ani.
Dinding rektum secara bertahap menjadi relaks, dan keinginan defekasi
menghilang.
Gambar 2. Rektum dan Anus
|
Rektum dan anus
merupakan lokasi sebagian penyakit yang sering ditemukan pada manusia. Penyebab
umum konstipasi adalah kegagalan pengosongan rektum saat terjadi peristaltik
massa. Bila defekasi tidak sempurna, rektum menjadi relaks dan keinginan defekasi
menghilang. Air tetap terus diabsorpsi dan massa feses, sehingga feses menjadi
keras, dan menyebabkan lebih sukarnya defekasi selanjutnya.
Bila massa feses
yang keras ini terkumpul di satu tempat dan tidak dapat dikeluarkan, maka
disebut sebagai impaksi feses. Tekanan pada feses yang berlebihan menyebabkan
timbulnya kongesti vena hemoroidalis interna dan eksterna, dan hal ini
merupakan salah salu penyebab hemoroid (vena vanikosa rektum). Inkontinensia
feses dapat disebabkan oleh kerusakan otot sfingter ani atau gangguan medula
spinalis. Daerah anorektal sering merupakan tempat terjadinya abses dan
fistula. Kanker kolon dan rektum merupakan kanker saluran gastrointeslinal yang
paling sering terjadi.
Kerja kolon
dapat dijelaskan sebagai berikut. Dalam 4 jam setelah makan, nutrisi sisa
residu melewati ileum terminalis dan dengan perlahan melewati bagian proksimal
kolon melalui katup ileosekal.Katup ini, yang secara normal tertutup, membantu
mencegah isi kolon mengalir kembali ke usus halus. Pada setiap gelombang
peristaltik, katup terbuka secara dingkat dan memungkinkan sebagian isinya
masuk ke kolon.Populasi bakteri adalah komponen utama dari isis usus besar.
Bakteri membantu menyelesaikan pemecahan materi sisa dan garam empedu. Dua jenis
sekresi kolon ditambahkan pada materi sisa mukus dan larutan elektrolit.
Larutan elektrolit adalah larutan bicarbonat yang bekerja untuk menetralisir
produk akhir yang terbentuk melalui kerja bakteri kolonik. Mukus ini
melindungi mukosa kolon dari isi interluminal dan juga memberikan perlekatan
untuk massa fekal.
Aktivitas
peristaltik yang lemah menggerakkan isi kolonik dengan perlahan sepanjang
saluran. Transport lambat ini memungkinkan reabsorpsi efisien terhadap air dan
elektrolit. Gelombang peristaltik kuat intermitten mendorong isi untuk jarak
tertentu. Hal ini terjadi secara umum setelah makanan lain di makan, bila
hormon perangsang usus dilepaskan. Materi sisa dari makanan dalam kira-kira 12
jam. Sebanyak seperempat dari materi sisa dari makanan mungkin tetap berada di
rektum 3 hari setelah makan.
Komposisi feses mengandung :
a.
Berat
feses akhir feses yang dikeluarkan per hari sekitar 200 g.
b.
Air
mencapai 75% sampai 80%,
c.
Sepertiga
materi padatnya adalah bakteri,
d.
Dan
sisanya yang 2% sampai 3% adalah Nitrogen, zat sisa organic dan anorganik dari
sekresi pencernaan serta mucus dan lemak,
e.
Feses
juga mengandung sejumlah bakteri kasar, atau serat dan selulosa yang tidak
tercerna,
f.
Warna
coklat berasal dari pigmen empedu,
g.
Dan
bau berasal dari kerja bakteri.
B.
Konsep
Dasar Kanker Kolorektal
1.
Pengertian
Kanker adalah penyakit pertumbuhan sel yang bersifat ganas. Bisa mengenai organ apa saja di tubuh manusia.(Wikipedia.Indonesia, 2008).
Kanker merupakan penyakit tidak
menular yang berawal dari perubahan materi genetika, atau DNA, yang ada pada
sel normal dan menghasilkan sel yang tidak sama lagi dengan induknya. (www2.kompas.com).
Kanker adalah penyakit pertumbuhan sel
yang bersifat ganas dan bisa mengenai organ apa saja. Bisa menyerang kolon,
rektum atau keduanya.( www.roche.co.id).
Kanker kolorektum adalah karsinoma dan
biasanya berasal dari kelenjar sekretorik lapisan mukus. (Elizabet J Corwin. 2000. hal: 535)
Colorectal Cancer atau dikenal sebagai Ca. Colon atau Kanker Usus
Besar adalah suatu bentuk keganasan yang terjadi pada kolon, rektum, dan
appendix (usus buntu).(Arief, 2008).
Karsinoma kolorektal dini adalah
keganasan usus besar yang masih terbatas pada lapisan mukosa dan submukosa
dinding usus, dengan bermacam bentuk manifestasi, diantara berbagai tipe kanker
kolorkatal dini, tipe depress merupakan tipe yang paling sulit dikenali
khususnya dengan pemeriksaan endoskopi konvensional.(Agus Waspodo, 2008).
Kanker kolorektal merupakan kanker
terbanyak nomor 3 dan merupakan penyebab terbanyak nomor 2 kematian akibat
kanker. Kanker kolorektal itu sendiri dapat dicegah dengan deteksi dan
pengangkatan polip adenomatosa, dan angka ketahanan hidup secara bermakna lebih
baik jika kanker kolorektal didiagnosa saat masih terlokalisasi.(The
American Cancer Society, 2008).
Kanker kolorektal adalah kanker yang
terjadi di daerah kolon (usus besar) dan daerah rektum. Secara anatomis, kolon berada
sebelum rektum. Dan daerah kolon yang berdekatan dengan rektum tersebutlah
daerah rawan kanker. Karena hampir setengah dari seluruh kasus kanker
kolorektal terjadi di daerah rektum dan daerah rektosigmoid (American
Institute for Cancer Research, 1997).
Kanker kolorektal adalah kanker yang berasal dalam permukaan usus
besar (kolon) atau retum/rektal, umumnya kanker kolorektal berawal dari
pertumbuhan sel yang tidak ganas, dapat adenoma atau berbentuk
polip.( www.detak.org/aboutcancer.)
Gambar
3. Tumor Kolon
2.
Etiologi
Penyebab nyata dari kanker kolorectal belum diketahui secara pasti, namun faktor resiko & faktor predisposisi telah diidentifikasi. Faktor resiko yang mungkin adalah adanya riwayat kanker payudara dan tumor uterus atau kanker kolon atau polip dalam keluarga ; riwayat penyakit usus inflamasi kronis. (hadija.wordpress.com)
Hingga saat ini tidak diketahui dengan pasti apa penyebab kanker kolorektal. Tidak dapat diterangkan, mengapa pada seseorang terkena kanker ini sedangkan yang lain tidak. Namun yang pasti adalah bahwa penyakit kanker kolorektal bukanlah penyakit menular. Terdapat beberapa faktor resiko yang menyebabkan seseorang akan rentan terkena kanker kolorektal yaitu:
a. Usia, umumnya kanker kolorektal menyerang lebih sering pada usia tua. Lebih dari 90 persen penyakit ini menimpa penderita diatas usia 50 tahun. Walaupun pada usia yang lebih muda dari 50 tahunpun dapat saja terkena. Sekitar 3 % kanker ini menyerang penderita pada usia dibawah 40 tahun.
b. Polyp kolorektal, adalah pertumbuhan tumor pada dinding sebelah dalam usus besar dan rektum. Sering terjadi pada usia diatas 50 tahun. Kebanyakan polyp ini adalah tumor jinak, tetapi sebagian dapat berubah menjadi kanker. Menemukan dan mengangkat polyp ini dapat menurunkan resiko terjadinya kanker kolorektal.
c. Riwayat kanker kolorektal pada keluarga, bila keluarga dekat yang terkena (orang tua, kakak, adik atau anak), maka resiko untuk terkena kanker ini menjadi lebih besar, terutama bila keluarga yang terkena tersebut terserang kanker ini pada usia muda. Riwayat kanker payudara dan tumor uterus atau kanker kolon atau polip pada keluarga juga menjadi risiko yang sangat tinggi.
d. Kelainan genetik, perubahan pada gen tertentu akan meningkatkan resiko terkena kanker kolorektal. Bentuk yang paling sering dari kelainan gen yang dapat menyebabkan kanker ini adalah hereditary nonpolyposis colon cancer (HNPCC), yang disebabkan adanya perubahan pada gen HNPCC. Sekitar tiga dari empat penderita cacat gen HNPCC akan terkena kanker kolorektal, dimana usia yang tersering saat terdiagnosis adalah diatas usia 44 tahun.
e. Penyakit FAP (Familial Adenomatous Polyposis) - Polip adenomatosa familial (terjadi dalam keluarga); memiliki resiko 100% untuk terjadi kanker kolorektal sebelum usia 40 tahun, bila tidak diobati.
f. Pernah menderita penyakit sejenis, dapat terserang kembali dengan penyakit yang sama untuk kedua kalinya. Demikian pula wanita yang memiliki riwayat kanker indung telur, kanker rahim, kanker payudara memiliki resiko yang tinggi untuk terkena kanker ini.
g. Radang usus besar, berupa colitis ulceratif atau penyakit Crohn yang menyebabkan inflamasi atau peradangan pada usus untuk jangka waktu lama, akan meningkatkan resiko terserang kanker kolorektal.
h. Diet, makanan tinggi lemak (khususnya lemak hewan) dan rendah kalsium, folat dan rendah serat, jarang makan sayuran dan buah-buahan, sering minum alkohol, akan meningkatkan resiko terkena kanker kolorektal.
i. Merokok, dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker ini.
j. Diabetes, meningkatkan 40 % berkembangnya kanker kolorektal.
k. Sedikit beraktivitas. Orang yang beraktivitas fisik lebih banyak memiliki resiko lebih rendah untuk terbentuk kanker kolorektal.
l. Infeksi Virus. Virus tertentu seperti HPV (Human Papilloma Virus) turut andil dalam terjadinya kanker kolorektal.
3.
Patofisiologi
Kanker kolon dan rektum terutama (95%) adenokarsinoma (muncul dari lapisan
epitel usus). Dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan
menyusup serta merusak jaringan normal serta meluas ke dalam sturktur
sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas dari tumor primer dan menyebar ke bagian
tubuh yang lain (paling sering ke hati).
Kanker
kolorektal dapat menyebar melalui beberapa cara yaitu :
a.
Secara
infiltratif langsung ke struktur yang berdekatan, seperti ke dalam kandung
kemih.
b.
Melalui
pembuluh limfe ke kelenjar limfe perikolon dan mesokolon.
c.
Melalui
aliran darah, biasanya ke hati karena kolon mengalirakan darah ke system
portal.
d.
Penyebaran
secara transperitoneal.
e.
Penyebaran
ke luka jahitan, insisi abdomen atau lokasi drain.
Stadium Kanker
Gambar 4 : Stadium Kanker Kolorektal
(Sumber : www.detak.org/aboutcancer.)
a.
Stadium
0 (carcinoma in situ)
Kanker belum menembus membran basal dari mukosa kolon atau rektum.
Kanker belum menembus membran basal dari mukosa kolon atau rektum.
b.
Stadium
I
Kanker telah menembus membran basal hingga lapisan kedua atau ketiga (submukosa/ muskularis propria) dari lapisan dinding kolon/ rektum tetapi belum menyebar keluar dari dinding kolon/rektum (Duke A).
Kanker telah menembus membran basal hingga lapisan kedua atau ketiga (submukosa/ muskularis propria) dari lapisan dinding kolon/ rektum tetapi belum menyebar keluar dari dinding kolon/rektum (Duke A).
c.
Stadium
II
Kanker telah menembus jaringan serosa dan menyebar keluar dari dinding usus kolon/rektum dan ke jaringan sekitar tetapi belum menyebar pada kelenjar getah bening (Duke B).
Kanker telah menembus jaringan serosa dan menyebar keluar dari dinding usus kolon/rektum dan ke jaringan sekitar tetapi belum menyebar pada kelenjar getah bening (Duke B).
d.
Stadium
III
Kanker telah menyebar pada kelenjar getah bening terdekat tetapi belum pada organ tubuh lainnya (Duke C).
Kanker telah menyebar pada kelenjar getah bening terdekat tetapi belum pada organ tubuh lainnya (Duke C).
e.
Stadium
IV
Kanker telah menyebar pada organ tubuh lainnya (Duke D).
Kanker telah menyebar pada organ tubuh lainnya (Duke D).
Stadium TNM menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC):
Stadium
|
T
|
N
|
M
|
Duke
|
0
|
Tis
|
N0
|
M0
|
-
|
I
|
T1
T2
|
N0
N0
|
M0
M0
|
A
|
II A
II B
|
T3
T4
|
N0
N0
|
M0
M0
|
B
|
III A
III B
III C
|
T1-T2
T3-T4
Any T
|
N1
N1
N2
|
M0
M0
M0
|
C
|
IV
|
Any T
|
Any N
|
M1
|
D
|
Keterangan
T : Tumor
primer
Tx : Tumor
primer tidak dapat di nilai
T0 : Tidak terbukti
adanya tumor primer
Tis : Carcinoma in
situ, terbatas pada intraepitelial atau terjadi invasi pada lamina propria
T1 . : Tumor
menyebar pada submukosa
T2 . : Tumor menyebar
pada muskularis propria
T3 : Tumor menyebar
menembus muskularis propria ke dalam subserosa atau ke dalam jaringan
sekitar kolon atau rektum tapi belum mengenai peritoneal.
T4 : Tumor menyebar
pada organ tubuh lainnya atau menimbulkan perforasi peritoneum viseral.
N :
Kelenjar getah bening regional/node
Nx :
Penyebaran pada kelenjar getah bening tidak dapat di nilai
N0 . : Tidak ada
penyebaran pada kelenjar getah bening
N1 : Telah
terjadi metastasis pada 1-3 kelenjar getah bening regional
N2 : Telah terjadi metastasis pada lebih dari 4
kelenjar getah bening
M :
Metastasis
Mx . : Metastasis
tidak dapat di nilai
M0 : Tidak terdapat metastasis
M1 : Terdapat metastasis
Gambar 4 : Tahapan pembesaran kanker
(Sumber : www.detak.org/aboutcancer.)
4.
Komplikasi
Pertumbuhan tumor dapat menyebabkan obstruksi usus parsial atau
lengkap. Pertumbuhan dan ulserasi dapat juga menyerang pembuluh darah sekitar
kolon yang menyebabkan hemoragi. Perforasi dapat terjadi, dan mengakibatkan
pembentukan abses. Peritonitis atau sepsis dapat menimbulkan syok.
5.
Manifestasi
Klinis
Mula-mula gejalanya tidak jelas, seperti berat badan menurun
(sebagai gejala umum keganasan) dan kelelahan yang tidak jelas sebabnya.
Setelah berlangsung beberapa waktu barulah muncul gejala-gejala lain yang
berhubungan dengan keberadaan tumor dalam ukuran yang bermakna di usus besar.
Makin dekat lokasi tumor dengan anus biasanya gejalanya makin banyak. Bila kita
berbicara tentang gejala tumor usus besar, gejala tersebut terbagi tiga, yaitu gejala
lokal, gejala umum, dan gejala penyebaran (metastasis).
a.
Gejala
lokalnya adalah :
1).
Perubahan
kebiasaan buang air
a)
Perubahan frekuensi buang air, berkurang
(konstipasi) atau bertambah (diare),
b)
Perubahan frekuensi buang air, berkurang
(konstipasi) atau bertambah (diare)
c)
Perubahan
wujud fisik kotoran/feses
(1).
Feses
bercampur darah atau keluar darah dari lubang pembuangan saat buang air besar,
(2).
Feses
bercampur lendir,
(3).
Feses
berwarna kehitaman, biasanya berhubungan dengan terjadinya perdarahan di
saluran pencernaan bagian atas,
2).
Timbul
rasa nyeri disertai mual dan muntah saat buang air besar, terjadi akibat
sumbatan saluran pembuangan kotoran oleh massa tumor
3).
Adanya
benjolan pada perut yang mungkin dirasakan oleh penderita
4).
Timbul
gejala-gejala lainnya di sekitar lokasi tumor, karena kanker dapat tumbuh
mengenai organ dan jaringan sekitar tumor tersebut, seperti kandung kemih
(timbul darah pada air seni, timbul gelembung udara, dll), vagina (keputihan
yang berbau, muncul lendir berlebihan, dll). Gejala-gejala ini terjadi
belakangan, menunjukkan semakin besar tumor dan semakin luas penyebarannya.
b.
Gejala umumnya adalah :
1).
Berat
badan turun tanpa sebab yang jelas (ini adalah gejala yang paling umum di semua
jenis keganasan),
2).
Hilangnya
nafsu makan,
3).
Anemia,
pasien tampak pucat
4).
Sering
merasa lelah
5). Kadang-kadang mengalami sensasi seperti melayang
c.
Gejala penyebarannya adalah :
1).
Penyebaran
ke Hati, menimbulkan gejala :
a)
Penderita
tampak kuning,
b)
Nyeri
pada perut, lebih sering pada bagian kanan atas, di sekitar lokasi hati,
c)
Nyeri
pada perut, lebih sering pada bagian kanan atas, di sekitar lokasi hati.
2).
Timbul
suatu gejala lain yang disebut paraneoplastik, berhubungan dengan peningkatan
kekentalan darah akibat penyebaran kanker.
6.
Pemeriksaan
Penunjang
a.
Fecal occult blood test, pemeriksaan darah samar
feses di bawah mikroskop
b.
Colok dubur. Pemeriksaan colok dubur dapat menemukan
kelainan didaerah dubur dan 1/3 bawah rectum seperti tumor atau polip.
Pemeriksaan endoskopi mudah melihat kelainan tersebut, meski dapat terjadi
kelainan luput dari pengamatan saat insersi skope,
c.
Barium enema, pemeriksaan serial sinar x pada saluran cerna
bagian bawah, sebelumnya pasien diberikan cairan barium ke dalam rektum
d.
Sigmoidoskopi, dengan menggunakan teropong, melihat
gambaran rektum dan sigmoid adanya polip atau daerah abnormal lainnya
dalam layar monitor.
e.
Biopsi, tindakan pengambilan sel atau jaringan abnormal dan
dilakukan pemeriksaan di bawah mikroskop.
f.
Pemeriksaan proktosigmoidoskopi denga
skope rigid sangat bermafaat untuk memperoleh jaringan biopsi yang besar pada
lesi besar didaerah rectum dan rekstosigmoid.
g.
Kolonoskopi yaitu suatu cara untuk
melihat secara langsung lumen saluran cerna bagian bawah ( sejak dari rectum
sampai dengan cecum) dengan alat kolonoskopi. Pemeriksaan ini merupakan alat
diagnosis yang paling akurat untuk mendeteksi polip. Sensitifitasnya mencapai
angka 94% dengan angka kegagalan pengamatan polip berukuran < 9 mm sebesar
15%.
h.
CT scan. Pasien kanker kolorektal tanpa
komplikasi tidak memerlukan pemeriksaan CT Scan rutin, karena hasilnya tidak
akan merubah keputusan untuk melakukan tindakan operasi. Pemeriksaan CT Scan
pada kanker rectum lanjut sangat akurat untuk menilai adanya invasi ke jaringan
sekitarnya. Kemampuannya sangat terbatas untuk mendeteksi lesi primer kecil. CT
Scan juga tidak efektif untuk menampilkan lapisan dinding rectum oleh karena
itu tidak dapat dipergunakan untuk menilai seberapa jauh telah terjadi invasi
kedalam sebesar 70% dan kemampuan untuk mengamati kelenjar limfe sebesar 45%
untuk menilai terdapat metastase di hati USG dapat mengganttikan peran CT Scan
bila diperlukan. USG dan CT Scan tampaknya lebih akurat untuk deteksi kelainan
dihati bila dibanding dengan MRI.
i.
Endosonografi.
Stadium kanker kolrektal mencerminkan
derajat penyebaran penyakit. Pada dasarnya stadium penyakit terbagi atas tiga komponen
yaitu : invasi lokal, penyebaran ke kelenjar getah bening dan metastasis ke
lain organ. Konsep tersebut terwakil pada sistem TNM yang diperkenalkan. T
memperlihatkan invasi lokal, N memperlihatkan metastasis kelenjar getah bening
dan M menunjukkan metastasis ke organ lain.
Tingkatan T dapat ditentukan oleh
Endosonografi (EUS) Dinyatakan T1 memeperlihatkan keterlibatan tumor sampai 3
lapis pertama dinding usus, namun lapisan muscularis propria belum rusak karena
pertumbuhan tumor. Pada pemeriksaan EUS tampak dinding tumor masih halus.
Sedangkangkan T3 memperlihatkan infiltrasi tumor sudah mencapai jaringan lemak
sekitar dinding usus atau sudah menembus lapisan serosa. Tampilan EUS sebagai
masa tumor dengan pinggir luar iregular atau sebagai pseudopods tumor. Pada T4
tampak ilfiltrasi ke struktur lain atau jaringan sekitarnya.
Metastase pada kelenjar getah bening N
dapat juga dilihat dengan EUS. Namun EUS sulit untuk membedakan sebab
pembesaran kelenjar apakah disebabkan peradangan atau suatu proses metastasis,
meskipun telah ditetapkan kriterianya. Gambaran EUS pada metastasis kelenjar
getah bening tampak lebih hipoechoik didaerah jaringan parirektal.Akurasinya
hanya mencapai angka 80% s/d 85%. Oleh karena itu untuk meningkatkan akurasi
diusulkan untuk mengkaitkan pembesaran kelenjar tersebut dengan tingkatan T.
Kemampuan endoluminal sonografi untuk
menetapkan stadium T dan N kanker rectum dilaporkan lebih baik bila
dibandingkan dengan CT Scan. Dilaporkan bahwa dari suatu study meta analisa EUS
untuk menentukan apakah tumor masih terbatas pada dinding rectum ( T1,T2 )
sebesar 95%. Namun pemeriksaan menjadi sulit bila didapatkan kanker atau
striktur yang mengakibatkan penyempitan lumen, sehingga alat tidak dapat
sempurna masuk kedalam lumen usus. Lebih lanjut dinyatakan bahwa manfaat
endosonografi pada kanker diatas rectum belum didapatkan kesepahaman. Hasilnya
masih bervariasi.
7.
Penatalaksanaan
a.
Pencegahan
:
1). Berhenti Merokok. Rokok mengandungi
bahan-bahan karsinogen yang meninggikan risiko mutasi sel dalam pembentukan sel
kanker.
2).
Kurangkan
Berat Badan, Menurut laporan Harvard 1996 Mengenai Pencegahan Kanser, lelaki
yang mempunyai berat badan yang sama mempunyai 40 % risiko kanker usus besar
dan prostat.
3).
Lakukan
olah raga teratur, Melakukan olahraga yang ringan dengan kerap kemungkinan
kerana ia membantu membuang bahan kumuh dengan cepat daripada sistem pembuangan
dan karsinogen (penyebab kanker) yang mungkin terdapat dalam makanan. Olah raga
juga boleh mengurangkan risiko kanker payudara dan prostat, kemungkinan kerana
lemak telah berkurangan. Apa yang perlu anda lakukan adalah aktivititas
sederhana sejam setiap hari seperti berkebun, menaiki tangga adalah aktivititas
yang baik.
4).
Makan
sayur-sayuran dan buah-buahan, Kompoun yang terdapat dalam tumbuh-tumbuhan yang
dikenali sebagai psitokemia mempunyai keupayaan mencegah kanser secara alami.
Malangnya kajian tidak dapat memastikan jenis makanan yang mengandungi bahan
ini. Oleh sebab itu, dicadangkan supaya kita mengambil berbagai sayuran banyak
setiap hari. Makanan ini dapat mencegah kanker kemungkinan dengan mengganggu
proses menukar hasil makanan itu menjadi karsinogen.
5).
Pengambilan
teh. Kuasa pencegahan kanser dalam teh
datangnya dari flavonoids, yaitu komponen antipengoksidaan yang terdapat dalam
teh hijau dan hitam.
6).
Kurang
makan daging. Pakar mendapati ada sesetengah komponen daging yang bisa
menyebabkan anggota kita lebih terdedah kepada karsinogen. Itulah sebabnya
orang yang kuat makan daging dua kali ganda risikonya menghadapi kanser usus
besar dan prostat. Oleh itu, kurangkan makan daging. Begitu juga dengan cara
memasak. Suhu yang tinggi boleh menyebabkan karsinogen pada daging. Daging itu
lebih elok dipanggang beberapa minit untuk membuang airnya. Kemudian
pangganglah seperti biasa.
7).
Jangan
Minum Alkohol. Orang yang minum alkohol terlalu banyak mempunyai risiko yang
tinggi menghidap penyakit kanker hati, esofagus (terutama apabila dia turut
merokok), usus besar (apabila mereka mempunyai paras asid folik yang rendah)
dan kanker dubur.
8).
Melakukan skrining kanker kolorektal untuk deteksi dini
kanker kolorektal. Berikut ini beberapa pilihan skrining-skrining dapat
dilakukan :
a)
Tujuan utama skrining kanker kolorektal yaitu pencegahan
kanker kolon melalui pemeriksaan struktural jika memungkinkan.
b)
Pemeriksaan feses kurang efektif dalam prevensi kanker kolon
dibandingkan pemeriksaan struktural. Pemeriksaan feses hanya efektif jika
dilakukan secara rutin, dan jika terdapat kelainan, perlu dilakukan
kolonoskopi.
c)
Pemeriksaan gFOBT (guaiac-based fecal occult blood test)
high sensitivity tiap tahun merupakan pilihan skrining kanker
kolorektal. Diambil 2 sampel feses dari 3 sampel yang berurutan. Hasil 3 uji
klinis acak terkontrol menyebutkan bahwa gFOBT dapat mendeteksi kanker pada
stadium dini dan menurunkan mortalitas kanker kolorektal sebesar 15 % vs 33 %.
Jika hasilnya positif, dilanjutkan pemeriksaan kolonoskopi.
d)
Pemeriksaan FIT (fecal immunochemical test) tiap
tahun. Dua tes lebih optimal dibandingkan 1 tes. Jika hasilnya positif, maka
dilanjutkan pemeriksaan kolonoskopi.
e)
Pemeriksaan sDNA untuk mendeteksi perubahan DNA pada sel
adenoma dan karsinoma yang terdapat dalam feses merupakan pilihan skrining
kanker kolorektal, namun interval pemeriksaan belum diketahui. Pemeriksaan ini
membutuhkan sedikitnya 30g sampel feses. Jika hasilnya positif dilanjutkan
pemeriksaan kolonoskopi.
f)
Pemeriksaan FSIG (flexible sigmoidoscopy) untuk
memeriksa rektum, sigmoid, dan kolon desenden setiap 5 tahun merupakan pilihan
deteksi kanker kolorektal dan polip. Pemeriksaan tambahan yang dianjurkan yaitu
gFOBT highly sensitive atau FIT tiap tahun. Jika hasilnya positif, dilanjutkan
pemeriksaan kolonoskopi.
g)
Kolonoskopi, sama seperti sigmoidoscopy, namun
menggunakan kabel yang lebih panjang, sehingga seluruh rektum dan usus besar
dapat diteropong dan diperiksa. Alat yang digunakan adalah kolonoscope. Pemeriksaan
kolonoskopi tiap 10 tahun dapat menjadi pilihan skrining kanker kolorektal dan
polip.
h)
Pemeriksaan barium enema kontras ganda atau barium enema
air-contrast tiap 5 tahun merupakan pilihan skrining kanker kolorektal dan
polip. Adanya hasil abnormal merupakan indikasi kolonoskopi.
i)
Pemeriksaan CTC (computed tomographic colonography)
tiap 5 tahun merupakan pilihan skrining untuk kanker kolorektal dan polip.
Adanya polip berukuran ≥ 6mm merupakan indikasi kolonoskopi.
j)
Colok dubur, adalah pemeriksaan yang sangat
sederhana dan dapat dilakukan oleh semua dokter, yaitu dengan memasukkan jari
yang sudah dilapisi sarung tangan dan zat lubrikasi kedalam dubur kemudian memeriksa
bagian dalam rektum. Merupakan pemeriksaan yang rutin
dilakukan. Bila ada tumor di rektum akan teraba dan diketahui dengan
pemeriksaan ini.
b.
Diet
1).
Mengonsumsi makanan berserat tinggi, yaitu
sayuran dan buah-buahan. Serat siap pakai instan seperti yang banyak diiklankan
saat ini tidak direkomendasikan. Lebih baik lagi yang alami. Serat akan
menyerap air serta zat karsinogenik dalam usus, sehingga memperbesar berat dan
volume tinja. Hal ini akan meningkatkan gerak peristaltik usus untuk mendorong
tinja keluar, sehingga kontak dinding usus dengan zat karsinogenik makin
singkat, sehingga tidak sempat mengubah sel menjadi ganas. (Lukman, 2008).
2).
Mengonsumsi beberapa jenis makanan dikenal
mengandung zat antikanker, antara lain bawang putih, bawang bombay, jeruk,
anggur, strawberi, apel, semangka, ubi, dan ketimun.
3).
Mengonsumsi ikan juga bisa menurunkan risiko
kanker kolorektal.
4).
Selain itu vitamin A, C, dan E diduga mempunyai
khasiat antikanker. Sedangkan, kalsium diduga mempunyai efek proteksi terhadap
kanker kolorektal karena mengikat lemak dan asam empedu dalam usus.
5).
Mengonsumsi
1 ½ - 2 buah pisang setiap hari. 100 gram pisang mengandung 0.58 milligram vitamin B6. Sementara satu buah pisang ukuran sedang
seberat 120 gram mengandung 0.70 milligram, artinya untuk memenuhi kebutuhan
vitamin B6 untuk lansia berkisar antara 1.5-2 mg per harinya, cukup mengonsumsi
2 buah pisang setiap harinya. Dua buah pisang setara dengan 58 mikrogram folat,
meskipun hanya memenuhi sepertiga kebutuhan folat tubuh, karena 2/3-nya dapat
dipenuhi dari sumber folat lainnya seperti brokoli, bayam, dan kacang-kacangan.
c.
Therapy
1). Kemoterapi ajuvan pada kanker kolorektal resectable.
Kemoterapi
ajuvan masih menjadi pertimbangan utama pada kanker kolorektal resectable,
berdasarkan European MOSAIC Trial yang
mengevaluasi FOLFOX-4 dibandingkan dengan 5-FU/LV sebagai ajuvan terapi pada
2.246 pasien stadium II dan III yang telah lengkap menjalani reseksi, DFS
(Disease Free Survival) 4 tahun pada kelompok FOLFOX-4 69,7 % dan 5-FU/LV 61 %
sehingga berdasarkan hasil penelitian tersebut FOLFOX-4 direkomendasikan
sebagai terapi ajuvan pada kanker kolorektal stadium dini.
Berikut ini beberapa regimen yang menjadi terapi pilihan sebagai terapi ajuvan berdasarkan pedoman terapi kanker kolorektal National Comprehensive Cancer Network V.2.2007 FLOX, FOLFOX-4, FOLFOX-6, 5-FU/LV,Capecitabine
Berikut ini beberapa regimen yang menjadi terapi pilihan sebagai terapi ajuvan berdasarkan pedoman terapi kanker kolorektal National Comprehensive Cancer Network V.2.2007 FLOX, FOLFOX-4, FOLFOX-6, 5-FU/LV,Capecitabine
2). Kemoterapi neoajuvan pada kanker kolorektal unresectable
Kemoterapi
yang diberikan sebelum tindakan operasi (pada tumor metastasis di hati)
pada pasien kanker kolorektal secara bermakna mengurangi risiko rekurensi
metastasis pada hati. Penelitian ini dilakukan oleh European Organization for Research and
Treatment (EORTC) dengan partisipasi dari 4 organisasi kanker di
Eropa.
Pendekatan
terapi ini menjadi terapi standar pada pasien kanker kolorektal dengan
metastasis di hati, diketahui data hampir 50 % dari 1.000.000 penduduk yang
terdiagnosis kanker kolorektal setiap tahun akan bermetastasis pada hati.
Standar terapi operasi untuk mengangkat tumor pada hati masih memungkinkan
tetapi rekurensi seringkali terjadi dan hanya 30-35 % pasien dengan metastasis
di hati yang bertahan hidup 5 tahun setelah tindakan operasi. Regimen yang
dapat digunakan berdasarkan pedoman terapi kanker kolorektal National
Comprehensive Cancer Network V.2.2007 FOLFOX, FOLFIRI, CapeOx + bevacizumab
Kemoterapi
pada kanker kolorektal metastasis dan rekurensi
Sekitar 50-60 % pasien kanker kolorektal terdiagnosis dalam stadium lanjut. Kanker kolorektal stadium IV atau rekurensi seringkali mengenai hati, paru atau bermetastasis pada peritoneal. Alur pilihan regimen kemoterapi pada kanker kolon stadium lanjut atau metastasis berdasarkan pedoman terapi kanker kolorektal National Comprehensive Cancer Network V.2.2007.
Sekitar 50-60 % pasien kanker kolorektal terdiagnosis dalam stadium lanjut. Kanker kolorektal stadium IV atau rekurensi seringkali mengenai hati, paru atau bermetastasis pada peritoneal. Alur pilihan regimen kemoterapi pada kanker kolon stadium lanjut atau metastasis berdasarkan pedoman terapi kanker kolorektal National Comprehensive Cancer Network V.2.2007.
Pasien
yang mentoleransi terapi intensif
|
Terapi
Pertama
|
Terapi
Setelah Progresif I
|
Terapi
Setelah Progresif II
|
FOLFOX +
Bevacizumab atau
CapeOX +
Bevacizumab
|
FOLFIRI atau
Irinotecan atau
|
Cetuximab atau Panitumumab atau Cetuximab +
Irinotecan
|
|
FOLFIRI + Cetuximab
atau
Cetuximab +
Irinotecan
|
Penelitian atau terapi suportif
|
||
Atau
|
|||
FOLFORI +
Bevacizumab
|
FOLFOX atau
CapeOX atau
Cetuximab atau
|
Cetuximab
atau Panitumumab atau
Cetuximab +
Irinotecan
|
|
Panitumumab atau
Cetuximab +
Irinotecan
|
FOLFOX atau
CapeOX
|
||
Atau
|
|||
5-FU/Leucovorin +
Bevacizumab
|
FOLFOX atau CapeOX
|
Irinotecan
Cetuximab atau Panitumumab atau
Cetuximab +
Irinotecan
|
|
Irinotecan atau
FOLFIRI
|
Cetuximab atau
Panitumumab
atau
Cetuximab +
Irinotecan
|
3). Regimen yang diakui oleh FDA untuk kanker
kolorektal stadium lanjut
Diakui oleh FDA Amerika
|
|||
Regimen
|
Terapi lini pertama
|
Terapi lini kedua
|
Tahun diakui oleh FDA
|
Bevacizumab + regimen
berbasis 5-FU
(FOLFOX-4,IFL, FOLFIRI
dan LV5FU2)
|
√
|
|
2004
|
Cetuximab (monoterapi / + irinotecan)
|
|
√
|
2004
|
FOLFOX
|
√
|
√
|
Lini I :
2004,
Lini II :
2002
|
FOLFIRI
|
√
|
|
2000
|
IFL
|
√
|
|
2000
|
Irinotecan
|
|
√
|
1998
|
Capecitabine
|
√
|
|
2002
|
d.
Pembedahan
:
Operasi
merupakan terapi utama kanker kolorektal lanjut. Tujuan dari operasi adalah
penyembuhan dan mengurangi keluhan. Operasi pengangkatan tumor pada proses
metastase tetap diperlukan dengan tujuan menghindari terjadinya penyumbatan
oleh masa tumor, atau mencegah perdarahan karena kanker. Bilamana peluang
penyembuhan kanker masih ada, banyak pilihan teknik operasi dapat diterapkan. Namun
pada dasarnya reseksi harus dapat menghasilkan batas sayatana bebas tumor dan
jaringan pericolic juga bebas tumor. Reseksi dinyatakan kuratif apabila dicapai
penurunan resiko penyebaran lokoregional dan kekambuhan. Oleh karena itu untuk
mencapai hal tersebut batas sayatan harus lebih besar 5 cm dari batas tumor
untuk kanker kolon bagian kanan, kolon transversum, fleksure lienalis, kolon
desendens dan kolon sigmoid. Untuk daerah rectum sayatan dapat lebih pendek
karena jarak dengan anus terlalu dekat. Hal tersebut terpaksa dilakukan untuk
menghindari pembuatan anus buatan.
1).
Kolektomi Kanan
Tumor didaerah
cecum, kolon asending, atau fleksura hepatika memerlukan homikolektomi
kanan.Hemokolektomi kanan adalah pengangkatan daerah 5 sampai 8 cm ileum
terminal, cecum, kolon asenden, fleksura hepatika dan bagian proksimal kolon
ransversum.Setelah dilakukan reseksi kemudian dilakukan penyambungan
(anastomesis) antara ileum dan kolon ( side-to-side).
2).
Kolektomi Transverse
Pengangkatan
kolon transversum karena tumor didaerah colon transversum proksimal, tengah dan
distal. Operasi kolektomi transverse untuk mengangkat tumor bagian proksimal
acapkali mengalamai kesulitan. Diperlukan operasi ekstended hemikolektomi
kanan. Sedangkan bila melakukan operasi untuk pengangkatan tumor kolon
transversum bagian tengah atau distal, acap ditemukan kesulitan pada
penyambungan memerlukan tarikan dan pembebasan jaringan fasia
dibelakangnya.Kadang diperlukan tindakan kolektomi subtotal yaitu mengangkat
kolon bagian kanan, transversum, desenden dan sigmoid. Keadaan ini dimaksudkan
untuk menjamin asupan darah ke rectum. Operasi ini juga bermanfaat pada keadaan
sumbatan total di daerah fleksura lienalis.
3).
Kolektomi Kiri dan Sigmoid
Operasi ini
dilakukan untuk mengatasi tumor di daerah puncak sigmoid, bagian bawah sigmoid
dan rektosigmoid.Potongan bagian proksimal kolon desendus atau bagian kolon
transversum disambung dengan bagian proksimal rectum.
4).
Operasi Kanker Rektum
Pengangkatan
kanker rectum biasanya mengatasi tumor dilakukan dengan reseksi abdominoperianal,
termasuk pengangkatan seluruh rectum, mesorektum dan bagian dari otot levator
ani dan dubur. Prosedur ini merupakan pengobatan yang efektif namun
mengharuskan pembuatan kolostomi permanen, disamping itu secara bermakna
berakibat kepada kejadian gangguan fungsi seksual dan kantong kemih. Oleh
karena saat ini telah dikemabgnka berbagai metode operasi seperti ”restorative
proctoolectomi with spinchter preservation” dan eksisi lokal.