MAKALAH KELOMPOK
KEPERAWATAN MEDIKAL
BEDAH
”ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN TETANUS SECARA TEORITIS”
DISUSUN OLEH :
1.
AGUS SADRAK (
10751 )
2.
AGNES MAISELIA (
10750 )
3.
FITRI HARDIARTI (
10786 )
TINGKAT II B
PEMERINTAH
PROVINSI KALIMANTAN BARAT
AKADEMI
KEPERAWATAN SINTANG
2011 / 2012
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan
toksin kuman Clostridium tetani, bermanifestasi sebagai kejang otot
paroksismal, diikuti kekakuan otot seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini
selalu tampak pada otot masseter dan otot-otot rangka.
Tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
toksin kuman clostiridium tetani yang dimanefestasikan dengan kejang otot
secara proksimal dan diikuti kekakuan seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini
selalu nampak pada otot masester dan otot rangka.
Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang,
ramping, berukuran 2-5 x 0,4 – 0,5 milimikron. Kuman ini berspora termasuk
golongan Gram positif dan hidupnya anaerob. Spora dewasa mempunyai bagian yang
ber bentuk bulat yang letaknya di ujung, penabuh genderang (drum stick). Kuman
mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksik. Toksin ini (tetanospasmin)
mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf perifer setempat. Toksin ini
labil pada pemanasan, pada suhu 650 C akan hancur dalam 5 menit. Di samping itu
dikenai pula tetanolisin yang bersifat hemolisis, yang perannya kurang berarti
dalam proses penyakit.
Angka kejadian dan kematian karena tetanus di Indonesia masih tinggi.
Indonesia merupakan negara ke-5 diantara 10 negara berkembang yang angka
kematian tetanus neonatorumnya tinggi. Pada tahun 1988 jumlah kematian neonatus
54633 dan pada tahun 1992 berjumlah 33264 sedangkan angka kematian tetanus
neonatorum pada tahun 1988 sebesar 10,9 ‰ dan tahun 1992 sebesar 7,3 ‰. Angka tersebut
cukup tinggi bila dibandingkan dengan negara tetangga yakni Vietnam dengan
jumlah kematian karena tetanus neonatorum tahun 1988 sebanyak 9598 dan tahun
1992 berjumlah 85550 dan angka kematian tahun 1988 dan 1992 adalah 4.8 ‰ dan
4,2 ‰ secara berurutan.
B.
Tujuan
1. Tujuan
umum
Adapun
tujuan umum dari penyusunan makalah ini adalah mahasiswa dapat memahami tentang
asuhan keperawatan Tetanus secara teoritis.
2. Tujuan
khusus
Adapun
tujuan khusus yang ingin dicapai dari penyusunan makalah ini adalah diharap mahasiswa
dapat:
a. Memahami
Konsep Dasar Tetanus
b. Memahami
Asuhan Keperawatan Tetanus secara teoritis.
C.
Ruang
Lingkup Penyusunan
Dalam
penyusuna makalah ini kelompok hanya membahas penyakit secara tinjauan teoritis
dan pemberian asuhan keperawatan pada klien Tetanus dengan pendekatan proses
keperawatan mulai dari pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan, rencana
keperawatan, implementasi keperawatan, dan evaluasi keperawatan.
D.
Metode
Penyusunan
Dalam penulisan makalah ini kelompok menggunakan
metode keperpustakaan akademi keperawatan sintang dengan cara mencari dari
buku-buku sebagai referensi, membaca dan mempelajari buku-buku literatur yang
terkait dengan Tetanus. Kelompok juga mengambil beberapa referensi dari
internet.
E.
Sistematika
Penyusunan
Sistematika penulisan makalah ini terdiri dari empat
bab, yakni BAB I PENDAHULUAN, yang
terdiri dari Latar Belakang, Tujuan Penyusunan, Ruang Lingkup Penyusunan,
Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan; BAB II TINJAUAN TEORITIS, yang
terdiri dari Pengertian, Etiologi, Patofisiologi, Manifestasi Klinis,
Komplikasi, Pemeriksaan Laboratorium, Penatalaksanaa dan Pencegahan Tetanus;
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN TETANUS, yang terdiri Pengkajian, Diagnosa
Keperawatan, Rencana Keperawatan, Implementasi Dan Evaluasi; dan BAB IV PENUTUP
yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran.
BAB
II
TINJAUAN
TEORITIS
A. Pengertian
Tetanus
adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh tetanospasmin
yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini
ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat
dengan tempat luka, sering progresif menjadi spasme otot umum yang berat serta
diperberat dengan kegagalan respirasi dan ketidakstabilan kardiovaskular (
Sjaifoellah, 2000 ).
B.
Etiologi
Clostridium Tetani sebuah kuman
gram positif, anaerob obligat besar dan mampu membentuk spora. Bentuk vegetasi
kuman ini mudah di musnahkan dengan panas dan desinfektan, tidak dapat hidup
dengan adanya oksigen. kuman ini mampu bertahan pada suhu sampai 121 derajat
celcius selama 10 – 15 menit serta resisten terhadap alkohol atauzat kimia
lain. spora ini terdapat di tanah, kotoran hewan dan manusia yang
menghasilkandua jenis eksotoksin yaitu tetanolisin dan tetanospasmin.
Tetanolisin merusak membran seldan jaringan sehingga membuat tempat yang sesuai
untuk pertumbuhan dan proliferasi.Tetanospasmin merupakan jenis toksin yang
paling paten.
C.
Patofisiologi
Penyakit
tetanus terjadi karena adanya luka pada tubuh seperti luka tertusuk paku, pecahan
kaca, atau kaleng, luka tembak, luka bakar, luka yang kotor dan pada bayi dapat
melalui tali pusat. Organisme multipel membentuk 2 toksin yaitu tetanuspasmin
yang merupakan toksin kuat dan atau neurotropik yang dapat menyebabkan
ketegangan dan spasme otot, dan mempngaruhi sistem saraf pusat.
Eksotoksin
yang dihasilkan akan mencapai pada sistem saraf pusat dengan melewati akson
neuron atau sistem vaskuler. Kuman ini menjadi terikat pada satu saraf atau
jaringan saraf dan tidak dapat lagi dinetralkan oleh antitoksin spesifik. Namun
toksin yang bebas dalam peredaran darah sangat mudah dinetralkan oleh
aritititoksin.
Hipotesa
cara absorbsi dan bekerjanya toksin adalah pertama toksin diabsorbsi pada ujung
saraf motorik dan melalui aksis silindrik dibawah ke korno anterior susunan
saraf pusat. Kedua, toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk ke dalam
sirkulasi darah arteri kemudian masuk ke dalam susunan saraf pusat. Toksin
bereaksi pada myoneural junction yang menghasilkan otot-otot menjadi kejang dan
mudah sekali terangsang. Masa inkubasi 2 hari sampai 2 bulan dan rata-rata 10
hari .
D.
Manifestasi Klinis
Timbulnya
gejala klinis biasanya mendadak, didahului dengan ketegangan otot terutama pada
rahang dan leher. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut (trismus) karena
spsme otot massater. Kejang otot ini akan berlanjut ke kuduk (opistotonus)
dinding perut dan sepanjang tulang belakang. Gambaran umum yang khas pada
tetanus adalah berupa badan kaku dengan epistotonus, tungkai dalam ekstrensi
lengan kaku dan tangan mengapal biasanya kesadaran tetap baik. Serangan timbul
paroksimal, dapat dicetus oleh rangsangan suara, cahaya maupun sentuhan, akan tetapi
dapat pula timbul spontan.
Karena kontraksi otot sangat kuat dapat
terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin bahkan dapat terjadi fraktur
collumna vertebralis (pada anak). Kadang dijumpai demam yang ringan dan
biasanya pada stadium akhir.
E.
Komplikasi
1. Laringospasme
( spasme pita suara ) atau spasme otot pernapasan.
2. Patah
tulang belakang / tulang panjang akibat kontraksi dan kejang yang lama.
3. Infeksi
Nosokomial karena perawatan yang lama.
4. Pneumonia
aspirasi.
5. Dekubitus.
6. Emboli
paru.
( Arif mansjoer, 2000 )
F.
Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang
karakteristik untuk tetanus. Pada pemeriksaan darah, jumlah lekosit mungkin
meningkat, laju endap darah sedikit meningkat. Pemeriksaan cairan serebrospinal
masih dalam batas normal. Tingkat serum enzim otot mungkin meningkat.
Diagnosis ditegakkan secara klinis dari
anamnesa dan pemeriksaan fisik dan tidak tergantung pada konfirmasi
bakteriologis.
Tetani hanya
ditemukan pada 30% pada luka pasien dengan kasus tetanus, dan dapat diisolasi
dari pasien yang tidak memberikan gejala tetanus.
G.
Penatalaksanaan
1. Netralisasi toksin dengan tetanus
antitoksin (TAT)
a. Hiperimun globulin (paling baik)
-
Dosis:
3.000-6.000 unit IM
-
Waktu
paruh: 24 hari, jadi dosis ulang tidak diperlukan
b. Antitoksin kuda
-
Dosis:
100.000 unit, dibagi dalam 50.000 unit IM dan 50.000 unit IV, pelan setelah
dilakukan skin test.
2. Perawatan luka
a. Bersihkan, kalau perlu didebridemen,
buang benda asing, biarkan terbuka (jaringan nekrosis atau pus membuat kondisis
baik C. Tetani untuk berkembang biak).
b. Penicillin G 100.000 U/kg BB/6 jam
(atau 2.000.000 U/kg BB/24 jam IV) selama 10 hari.
c. Alternatif
Tetrasiklin 25-50 mg/kg BB/hari (max 2 gr) terbagi dalam 3 atau 4 dosis.
Tetrasiklin 25-50 mg/kg BB/hari (max 2 gr) terbagi dalam 3 atau 4 dosis.
3. Berantas kejang
a. Hindari rangsang, kamar terang/silau,
suasana tenang.
b. Preparat anti kejang
-
Sekobarbital/Pentobarbital
6-10 mg/kg BB IM jika perlu tiap 2 jam untuk optimum level, yaitu pasien tenag
setengah tidur tetapi berespon segera bila dirangsang.
-
Chlorpromazim
efektif terhadap kejang pada tetanus.
-
Diazepam
0,1-0,2 mg/kg BB/3-6 jam IV kalau perlu 10-15 mg/kg BB/24 jam: mungkin 2-6
minggu.\
4. Terapi suportif
a. Hindari rangsang suara, cahaya,
manipulasi yang merangsang.
b. Perawatan umum, oksigen
c. Bebas jalan napas dari lender, bila
perlu trakeostomi.
d. Diet TKTP yang tidak merangsang,
bila perlu nutrisi parenteral, hindari dehidrasi.
e. Kebersihan mulut, kulit, hindari
obstipasi, retensi urin.
H.
Pencegahan
1. Anak mendapatkan imunisasi DPT
diusia 3-11 Bulan
2. Ibu hamil mendapatkan suntikan TT
minimal 2 X.
3. Pencegahan terjadinya luka &
merawat luka secara adekuat.
4. Pemberian anti tetanus serum.
BAB
III
ASUHAN
KEPERAWATAN SECARA TEORITIS
A. Pengkajian
1.
Identitas
pasien : nama, umur, tanggal lahir, jenis kelamin, alamat, tanggal masuk,
tanggal pengkajian, diagnosa medik, rencana terapi.
2.
Keluhan
utama/alasan masuk RS.
3.
Riwayat
Kesehatan
a.
Riwayat
kesehatan sekarang
b.
Riwayat
kesehatan masa lalu
c.
Riwayat
kesehatan keluarga
4.
Riwayat
Nutrisi
5.
Riwayat
Psikososial
6.
Riwayat
Spiritual
7.
Reaksi
Hospitalisasi: Pemahaman keluarga tentang sakit yang rawat inap.
8.
Aktifitas
sehari-hari
9.
Pemeriksaan
Fisik
10.
Tes
Diagnostik.
11.
Terapi
B.
Diagnosa
Keperawatan
1. Kebersihan jalan nafas tidak efektif
berhubungan dengan penumpukan sputum pada trakea dan spame otot pernafasan.
2. Gangguan pola nafas berhubungan
dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot-otot pernafasan.
3. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia)
berhubungan dengan efeks toksin (bakterimia)
4. Pemenuhan nutrisi kurang dari
kebutuhan berhubungan dengan kekakuan otot pengunyah
5. Risiko injuri berhubungan dengan
sering kejang
6.
Defisit velume cairan berhubungan dengan intake
cairan tidak adekuat.
C. Intervensi Keperawatan
1.
Diagnosa I
Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan
dengan penumpukan sputum pada trakea dan spame otot pernafasan, ditandai dengan
ronchi, sianosis, dyspneu, batuk tidak efektif disertai dengan sputum dan atau
lendir, hasil pemeriksaan lab, Analisa Gasa Darah abnormal (Asidosis
Respiratorik)
Tujuan : Jalan nafas efektif
Kriteria :
Klien
tidak sesak, lendir atau sleam tidak ada
Pernafasan
16-18 kali/menit
Tidak
ada pernafasan cuping hidung
Tidak
ada tambahan otot pernafasan
Hasil
pemeriksaan laboratorium darah Analisa Gas Darah dalam batas normal (pH=
7,35-7,45 ; PCO2 = 35-45 mmHg, PO2 = 80-100 mmHg)
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Bebaskan jalan nafas dengan
mengatur posisi kepala ekstensi
|
Secara anatomi posisi kepala
ekstensi merupakan cara untuk meluruskan rongga pernafasan sehingga proses
respiransi tetap berjalan lancar dengan menyingkirkan pembuntuan jalan nafas.
|
2
|
Pemeriksaan fisik dengan cara
auskultasi mendengarkan suara nafas (adakah ronchi) tiap 2-4 jam sekali
|
Ronchi menunjukkan adanya gangguan
pernafasan akibat atas cairan atau sekret yang menutupi sebagian dari saluran
pernafasan sehingga perlu dikeluarkan untuk mengoptimalkan jalan nafas.
|
3
|
Bersihkan mulut dan saluran nafas
dari sekret dan lendir dengan melakukan suction
|
Suction merupakan tindakan bantuan
untuk mengeluarkan sekret, sehingga mempermudah proses respirasi
|
4
|
Oksigenasi
|
Pemberian oksigen secara adequat
dapat mensuplai dan memberikan cadangan oksigen, sehingga mencegah terjadinya
hipoksia.
|
5
|
Observasi tanda-tanda vital tiap 2
jam
|
Dyspneu, sianosis merupakan tanda
terjadinya gangguan nafas disertai dengan kerja jantung yang menurun timbul
takikardia dan capilary refill time yang memanjang/lama.
|
6
|
Observasi timbulnya gagal nafas.
|
Ketidakmampuan tubuh dalam proses
respirasi diperlukan intervensi yang kritis dengan menggunakan alat bantu
pernafasan (mekanical ventilation)
|
7
|
Kolaborasi dalam pemberian obat
pengencer sekresi(mukolitik)
|
Obat mukolitik dapat mengencerkan
sekret yang kental sehingga mempermudah pengeluaran dan memcegah kekentalan
|
2.
Diagnosa II
Gangguan
pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot-otot
pernafasan, yang ditandai dengan kejang rangsanng, kontraksi otot-otot
pernafasan, adanya lendir dan sekret yang menumpuk.
Tujuan : Pola nafas teratur dan normal
Kriteria :
Hipoksemia
teratasi, mengalami perbaikan pemenuhan kebutuahn oksigen
Tidak
sesak, pernafasan normal 16-18 kali/menit
Tidak
sianosis.
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Monitor irama pernafasan dan
respirati rate
|
Indikasi adanya penyimpangan atau
kelaianan dari pernafasan dapat dilihat dari frekuensi, jenis
pernafasan,kemampuan dan irama nafas.
|
2
|
. Atur posisi luruskan jalan
nafas.
|
Jalan nafas yang longgar dan tidak
ada sumbatan proses respirasi dapat berjalan dengan lancar.
|
3
|
Observasi tanda dan gejala
sianosis
|
Sianosis merupakan salah satu
tanda manifestasi ketidakadekuatan suply O2 pada jaringan tubuh perifer
|
4
|
. Oksigenasi
|
Pemberian oksigen secara adequat
dapat mensuplai dan memberikan cadangan oksigen, sehingga mencegah terjadinya
hipoksia
|
5
|
Observasi tanda-tanda vital tiap 2
jam
|
Dyspneu, sianosis merupakan tanda
terjadinya gangguan nafas disertai dengan kerja jantung yang menurun timbul takikardia
dan capilary refill time yang memanjang/lama.
|
6
|
Observasi timbulnya gagal nafas.
|
Ketidakmampuan tubuh dalam proses
respirasi diperlukan intervensi yang kritis dengan menggunakan alat bantu
pernafasan (mekanical ventilation).
|
7
|
Kolaborasi dalam pemeriksaan
analisa gas darah.
|
Kompensasi tubuh terhadap gangguan
proses difusi dan perfusi jaringan dapat diketahui.
|
3.
Diagnosa III
Peningkatan
suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan efeks toksin (bakterimia) yang
dditandai dengan suhu tubuh 38-40 oC, hiperhidrasi, sel darah putih
lebih dari 10.000 /mm3
Tujuan : Suhu tubuh normal
Kriteria :
Suhu
tubuh 36-37 oC
Hasil
lab sel darah putih (leukosit) antara 5.000 - 10.000/mm3
NO
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
. Atur suhu lingkungan yang
nyaman.
|
Iklim lingkungan dapat
mempengaruhi kondisi dan suhu tubuh individu sebagai suatu proses adaptasi
melalui proses evaporasi dan konveksi.
|
2
|
Pantau suhu tubuh tiap 2 jam
|
Identifikasi perkembangan
gejala-gajala ke arah syok exhaution
|
3
|
Berikan hidrasi atau minum ysng
cukup adequat
|
Cairan-cairan membantu menyegarkan
badan dan merupakan kompresi badan dari dalam
|
4
|
Lakukan tindakan teknik aseptik
dan antiseptik pada perawatan luka.
.
|
Perawatan lukan mengeleminasi
kemungkinan toksin yang masih berada disekitar luka.
|
5
|
Berikan kompres dingin bila tidak
terjadi ekternal rangsangan kejang.
|
Kompres dingin merupakan salah
satu cara untuk menurunkan suhu tubuh dengan cara proses konduksi.
|
6
|
Laksanakan program pengobatan
antibiotik dan antipieretik
|
Obat-obat antibakterial dapat
mempunyai spektrum lluas untuk mengobati bakteeerria gram positif atau
bakteria gram negatif. Antipieretik bekerja sebagai proses termoregulasi
untuk mengantisipasi panas.
|
7
|
Kolaboratif dalam pemeriksaan lab
leukosit.
|
Hasil pemeriksaan leukosit yang
meningkat lebih dari 10.000 /mm3 mengindikasikan adanya infeksi dan atau
untuk mengikuti perkembangan pengobatan yang diprogramkan
|
4. Diagnosa IV
Pemenuhan
nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kekakuan otot pengunyah yang
ditandai dengan intake kurang, makan dan minuman yang masuk lewat mulut kembali
lagi dapat melalui hidung dan berat badan menurun ddiserta hasil pemeriksaan
protein atau albumin kurang dari 3,5 mg%.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Kriteria :
BB
optimal
Intake
adekuat
Hasil
pemeriksaan albumin 3,5-5 mg %
No.
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Jelaskan faktor yang mempengaruhi
kesulitan dalam makan dan pentingnya makanabagi tubuh
|
Dampak dari tetanus adalah adanya
kekakuan dari otot pengunyah sehingga klien mengalami kesulitan menelan dan
kadang timbul refflek balik atau kesedak. Dengan tingkat pengetahuan yang
adequat diharapkan klien dapat berpartsipatif dan kooperatif dalam program
diit.
|
2
|
Kolaboratif :
Pemberian
diit TKTP cair, lunak atau bubur kasar.
Pemberian
carian per IV line
Pemasangan
NGT bila perlu
|
Diit
yang diberikan sesuai dengan keadaan klien dari tingkat membuka mulut dan
proses mengunyah.
Pemberian
cairan perinfus diberikan pada klien dengan ketidakmampuan mengunyak atau
tidak bisa makan lewat mulut sehingga kebutuhan nutrisi terpenuhi.
NGT
dapat berfungsi sebagai masuknya makanan juga untuk memberikan obat
|
5. Diagnosa V
Resiko
injuri berhubungan dengan aktifitas kejang
Tujuan : Cedera tidak terjadi
Kriteria :
Klien
tidak ada cedera
Tidur
dengan tempat tidur yang terpasang pengaman
Intervensi
|
Rasional
|
|
1
|
Identifikasi dan hindari faktor
pencetus
|
Menghindari kemungkinan terjadinya
cedera akibat dari stimulus kejang
|
2
|
Tempatkan pasien pada tempat tidur
pada pasien yang memakai pengaman
|
Menurunkan kemungkinan adanya
trauma jika terjadi kejang
|
3
|
Sediakan disamping tempat tidur
tongue spatel
|
Antisipasi dini pertolongan kejang
akan mengurangi resiko yang dapat memperberat kondisi klien
|
4
|
Lindungi pasien pada saat kejang
|
Mencegah terjadinya benturan/trauma
yang memungkinkan terjadinya cedera fisik
|
5
|
Catat penyebab mulai terjadinya
kejang
|
Pendokumentasian yang akurat,
memudah-kan pengontrolan dan identifikasi kejang
|
6.
Diagnosa IV
Defisit
velume cairan berhubungan dengan intake cairan tidak adekuat
Tujuan : Klien tidak memperlihatkan kekurangan velume cairan
Kriteria :
Membran mukosa lembab, Turgor kulit
baik
No.
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Kaji intake dan out put setiap 24
jam
|
Memberikan informasi tentang
status cairan /volume sirkulasi dan kebutuhan penggantian
|
2
|
Kaji tanda-tanda dehidrasi,
membran mukosa, dan turgor kulit setiap 24 jam
|
Indikator keadekuatan sirkulasi
perifer dan hidrasi seluler
|
3
|
Berikan dan pertahankan intake
oral dan parenteral sesuai indikasi ( infus 12 tts/m, NGT 40 cc/4 jam) dan
disesuaikan dengan perkembangan kondisi pasien
|
Mempertahankan kebutuhan cairan
tubuh
|
4
|
Monitor berat jenis urine dan
pengeluarannya
|
Penurunan keluaran urine pekat dan
peningkatan berat jenis urine diduga dehidrasi/ peningkatan kebutuhan cairan
|
5
|
Pertahankan kepatenan NGT
|
Mempertahankan intake nutrisi
untuk kebutuhan tubuh
|
BAB
IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tetanus
adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh tetanospasmin
yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini
ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat
dengan tempat luka, sering progresif menjadi spasme otot umum yang berat serta
diperberat dengan kegagalan respirasi dan ketidakstabilan kardiovaskular.
Gejala klinis tetanus hampir selalu berhubungan dengan kerja toksin pada
susunan saraf pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada sistem saraf
perifer atau otot.
Tetanus secara umum adalah suatu penyakit akut yang disebabkan oleh Clostridium
tetani yang menghasilkan eksitoksin.
B.
Saran
Dengan adanya informasi tentang
penyakit tetanus ini diharapkan dapat mendorong tenaga kesehatan, khususnya
tenaga keperawatan untuk mengembangkan perbaikan kualitas asuhan keperawatan
kepada klien dengan tetanus, supaya komplikasi – komplikasi yang tidak
diharapkan tidak akan terjadi dan tujuan asuhan keperawatan yang diharapkan
akan tercapai.
Kelompok
menyadari, penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu,
kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan, demi perbaikan
penyusunan makalah kami kedepannya.
Akhir
kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, khususnya mahasiswa/i
Akademi Keperawatan Sintang.
DAFTAR
PUSTAKA
Doenges,
ME. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi.3. Jakarta: EGC
Mansjoer, arif. dkk. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3, jilid 2. Jakarta: Media
Aesculapius.
Noer, sjaifoellah. dkk. (2000). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3, jilid 1. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
http://www.lenterabiru.com/2009/09/tetanus.htm,
diakses tanggal 15Mei 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar