Jumat, 13 Juli 2012

Askep Tetanus


MAKALAH KELOMPOK
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
”ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN TETANUS SECARA TEORITIS



Akper_1
 









DISUSUN OLEH :
1.        AGUS SADRAK                 ( 10751 )
2.        AGNES MAISELIA            ( 10750 )
3.        FITRI HARDIARTI             ( 10786 )

TINGKAT II B


PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT
AKADEMI KEPERAWATAN SINTANG
2011 / 2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman Clostridium tetani, bermanifestasi sebagai kejang otot paroksismal, diikuti kekakuan otot seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu tampak pada otot masseter dan otot-otot rangka.
Tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin kuman clostiridium tetani yang dimanefestasikan dengan kejang otot secara proksimal dan diikuti kekakuan seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu nampak pada otot masester dan otot rangka.
Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang, ramping, berukuran 2-5 x 0,4 – 0,5 milimikron. Kuman ini berspora termasuk golongan Gram positif dan hidupnya anaerob. Spora dewasa mempunyai bagian yang ber bentuk bulat yang letaknya di ujung, penabuh genderang (drum stick). Kuman mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksik. Toksin ini (tetanospasmin) mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf perifer setempat. Toksin ini labil pada pemanasan, pada suhu 650 C akan hancur dalam 5 menit. Di samping itu dikenai pula tetanolisin yang bersifat hemolisis, yang perannya kurang berarti dalam proses penyakit.
Angka kejadian dan kematian karena tetanus di Indonesia masih tinggi. Indonesia merupakan negara ke-5 diantara 10 negara berkembang yang angka kematian tetanus neonatorumnya tinggi. Pada tahun 1988 jumlah kematian neonatus 54633 dan pada tahun 1992 berjumlah 33264 sedangkan angka kematian tetanus neonatorum pada tahun 1988 sebesar 10,9 ‰ dan tahun 1992 sebesar 7,3 ‰. Angka tersebut cukup tinggi bila dibandingkan dengan negara tetangga yakni Vietnam dengan jumlah kematian karena tetanus neonatorum tahun 1988 sebanyak 9598 dan tahun 1992 berjumlah 85550 dan angka kematian tahun 1988 dan 1992 adalah 4.8 ‰ dan 4,2 ‰ secara berurutan.

B.     Tujuan
1.      Tujuan umum
Adapun tujuan umum dari penyusunan makalah ini adalah mahasiswa dapat memahami tentang asuhan keperawatan Tetanus secara teoritis.
2.      Tujuan khusus
Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai dari penyusunan makalah ini adalah diharap mahasiswa dapat:
a.       Memahami  Konsep Dasar Tetanus
b.      Memahami Asuhan Keperawatan Tetanus secara teoritis.

C.    Ruang Lingkup Penyusunan
Dalam penyusuna makalah ini kelompok hanya membahas penyakit secara tinjauan teoritis dan pemberian asuhan keperawatan pada klien Tetanus dengan pendekatan proses keperawatan mulai dari pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan, rencana keperawatan, implementasi keperawatan, dan evaluasi keperawatan.

D.    Metode Penyusunan
Dalam penulisan makalah ini kelompok menggunakan metode keperpustakaan akademi keperawatan sintang dengan cara mencari dari buku-buku sebagai referensi, membaca dan mempelajari buku-buku literatur yang terkait dengan Tetanus. Kelompok juga mengambil beberapa referensi dari internet.

E.     Sistematika Penyusunan
Sistematika penulisan makalah ini terdiri dari empat bab, yakni  BAB I PENDAHULUAN, yang terdiri dari Latar Belakang, Tujuan Penyusunan, Ruang Lingkup Penyusunan, Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan; BAB II TINJAUAN TEORITIS, yang terdiri dari Pengertian, Etiologi, Patofisiologi, Manifestasi Klinis, Komplikasi, Pemeriksaan Laboratorium, Penatalaksanaa dan Pencegahan Tetanus; BAB III ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN TETANUS, yang terdiri Pengkajian, Diagnosa Keperawatan, Rencana Keperawatan, Implementasi Dan Evaluasi; dan BAB IV PENUTUP yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran.





BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A.    Pengertian
Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat dengan tempat luka, sering progresif menjadi spasme otot umum yang berat serta diperberat dengan kegagalan respirasi dan ketidakstabilan kardiovaskular ( Sjaifoellah, 2000 ).

B.     Etiologi
Clostridium Tetani sebuah kuman gram positif, anaerob obligat besar dan mampu membentuk spora. Bentuk vegetasi kuman ini mudah di musnahkan dengan panas dan desinfektan, tidak dapat hidup dengan adanya oksigen. kuman ini mampu bertahan pada suhu sampai 121 derajat celcius selama 10 – 15 menit serta resisten terhadap alkohol atauzat kimia lain. spora ini terdapat di tanah, kotoran hewan dan manusia yang menghasilkandua jenis eksotoksin yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin merusak membran seldan jaringan sehingga membuat tempat yang sesuai untuk pertumbuhan dan proliferasi.Tetanospasmin merupakan jenis toksin yang paling paten.

C.    Patofisiologi
Penyakit tetanus terjadi karena adanya luka pada tubuh seperti luka tertusuk paku, pecahan kaca, atau kaleng, luka tembak, luka bakar, luka yang kotor dan pada bayi dapat melalui tali pusat. Organisme multipel membentuk 2 toksin yaitu tetanuspasmin yang merupakan toksin kuat dan atau neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot, dan mempngaruhi sistem saraf pusat.
Eksotoksin yang dihasilkan akan mencapai pada sistem saraf pusat dengan melewati akson neuron atau sistem vaskuler. Kuman ini menjadi terikat pada satu saraf atau jaringan saraf dan tidak dapat lagi dinetralkan oleh antitoksin spesifik. Namun toksin yang bebas dalam peredaran darah sangat mudah dinetralkan oleh aritititoksin.
Hipotesa cara absorbsi dan bekerjanya toksin adalah pertama toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan melalui aksis silindrik dibawah ke korno anterior susunan saraf pusat. Kedua, toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk ke dalam sirkulasi darah arteri kemudian masuk ke dalam susunan saraf pusat. Toksin bereaksi pada myoneural junction yang menghasilkan otot-otot menjadi kejang dan mudah sekali terangsang. Masa inkubasi 2 hari sampai 2 bulan dan rata-rata 10 hari .

D.    Manifestasi Klinis
Timbulnya gejala klinis biasanya mendadak, didahului dengan ketegangan otot terutama pada rahang dan leher. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut (trismus) karena spsme otot massater. Kejang otot ini akan berlanjut ke kuduk (opistotonus) dinding perut dan sepanjang tulang belakang. Gambaran umum yang khas pada tetanus adalah berupa badan kaku dengan epistotonus, tungkai dalam ekstrensi lengan kaku dan tangan mengapal biasanya kesadaran tetap baik. Serangan timbul paroksimal, dapat dicetus oleh rangsangan suara, cahaya maupun sentuhan, akan tetapi dapat pula timbul spontan.
 Karena kontraksi otot sangat kuat dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis (pada anak). Kadang dijumpai demam yang ringan dan biasanya pada stadium akhir.

E.     Komplikasi
1.      Laringospasme ( spasme pita suara ) atau spasme otot pernapasan.
2.      Patah tulang belakang / tulang panjang akibat kontraksi dan kejang yang lama.
3.      Infeksi Nosokomial karena perawatan yang lama.
4.      Pneumonia aspirasi.
5.      Dekubitus.
6.      Emboli paru.
( Arif mansjoer, 2000 )

F.     Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang karakteristik untuk tetanus. Pada pemeriksaan darah, jumlah lekosit mungkin meningkat, laju endap darah sedikit meningkat. Pemeriksaan cairan serebrospinal masih dalam batas normal. Tingkat serum enzim otot mungkin meningkat.
Diagnosis ditegakkan secara klinis dari anamnesa dan pemeriksaan fisik dan tidak tergantung pada konfirmasi bakteriologis. Tetani hanya ditemukan pada 30% pada luka pasien dengan kasus tetanus, dan dapat diisolasi dari pasien yang tidak memberikan gejala tetanus.

G.    Penatalaksanaan
1.      Netralisasi toksin dengan tetanus antitoksin (TAT)
a.       Hiperimun globulin (paling baik)
-          Dosis: 3.000-6.000 unit IM
-          Waktu paruh: 24 hari, jadi dosis ulang tidak diperlukan
b.      Antitoksin kuda
-          Dosis: 100.000 unit, dibagi dalam 50.000 unit IM dan 50.000 unit IV, pelan setelah dilakukan skin test.
2.      Perawatan luka
a.       Bersihkan, kalau perlu didebridemen, buang benda asing, biarkan terbuka (jaringan nekrosis atau pus membuat kondisis baik C. Tetani untuk berkembang biak).
b.      Penicillin G 100.000 U/kg BB/6 jam (atau 2.000.000 U/kg BB/24 jam IV) selama 10 hari.
c.       Alternatif
Tetrasiklin 25-50 mg/kg BB/hari (max 2 gr) terbagi dalam 3 atau 4 dosis.


3.      Berantas kejang
a.       Hindari rangsang, kamar terang/silau, suasana tenang.
b.      Preparat anti kejang
-          Sekobarbital/Pentobarbital 6-10 mg/kg BB IM jika perlu tiap 2 jam untuk optimum level, yaitu pasien tenag setengah tidur tetapi berespon segera bila dirangsang.
-          Chlorpromazim efektif terhadap kejang pada tetanus.
-          Diazepam 0,1-0,2 mg/kg BB/3-6 jam IV kalau perlu 10-15 mg/kg BB/24 jam: mungkin 2-6 minggu.\
4.      Terapi suportif
a.       Hindari rangsang suara, cahaya, manipulasi yang merangsang.
b.      Perawatan umum, oksigen
c.       Bebas jalan napas dari lender, bila perlu trakeostomi.
d.      Diet TKTP yang tidak merangsang, bila perlu nutrisi parenteral, hindari dehidrasi.
e.       Kebersihan mulut, kulit, hindari obstipasi, retensi urin.

H.    Pencegahan
1.      Anak mendapatkan imunisasi DPT diusia 3-11 Bulan
2.      Ibu hamil mendapatkan suntikan TT minimal 2 X.
3.      Pencegahan terjadinya luka & merawat luka secara adekuat.
4.      Pemberian anti tetanus serum.







BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN SECARA TEORITIS

A.    Pengkajian
1.      Identitas pasien : nama, umur, tanggal lahir, jenis kelamin, alamat, tanggal masuk, tanggal pengkajian, diagnosa medik, rencana terapi.
2.      Keluhan utama/alasan masuk RS.
3.      Riwayat Kesehatan
a.       Riwayat kesehatan sekarang
b.      Riwayat kesehatan masa lalu
c.       Riwayat kesehatan keluarga
4.      Riwayat Nutrisi
5.      Riwayat Psikososial
6.      Riwayat Spiritual
7.      Reaksi Hospitalisasi: Pemahaman keluarga tentang sakit yang rawat inap.
8.      Aktifitas sehari-hari
9.      Pemeriksaan Fisik
10.  Tes Diagnostik.
11.  Terapi

B.     Diagnosa Keperawatan
1.      Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sputum pada trakea dan spame otot pernafasan.
2.      Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot-otot pernafasan.
3.      Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan efeks toksin (bakterimia)
4.      Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kekakuan otot pengunyah
5.      Risiko injuri berhubungan dengan sering kejang
6.      Defisit velume cairan berhubungan dengan intake cairan tidak adekuat.

C.     Intervensi Keperawatan
1.      Diagnosa I
Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sputum pada trakea dan spame otot pernafasan, ditandai dengan ronchi, sianosis, dyspneu, batuk tidak efektif disertai dengan sputum dan atau lendir, hasil pemeriksaan lab, Analisa Gasa Darah abnormal (Asidosis Respiratorik)
Tujuan       : Jalan nafas efektif
Kriteria      :
*      Klien tidak sesak, lendir atau sleam tidak ada
*      Pernafasan 16-18 kali/menit
*      Tidak ada pernafasan cuping hidung
*      Tidak ada tambahan otot pernafasan
*      Hasil pemeriksaan laboratorium darah Analisa Gas Darah dalam batas normal (pH= 7,35-7,45 ; PCO2 = 35-45 mmHg, PO2 = 80-100 mmHg)
No
Intervensi
Rasional
1
Bebaskan jalan nafas dengan mengatur posisi kepala ekstensi
Secara anatomi posisi kepala ekstensi merupakan cara untuk meluruskan rongga pernafasan sehingga proses respiransi tetap berjalan lancar dengan menyingkirkan pembuntuan jalan nafas.
2
Pemeriksaan fisik dengan cara auskultasi mendengarkan suara nafas (adakah ronchi) tiap 2-4 jam sekali
Ronchi menunjukkan adanya gangguan pernafasan akibat atas cairan atau sekret yang menutupi sebagian dari saluran pernafasan sehingga perlu dikeluarkan untuk mengoptimalkan jalan nafas.
3
Bersihkan mulut dan saluran nafas dari sekret dan lendir dengan melakukan suction
Suction merupakan tindakan bantuan untuk mengeluarkan sekret, sehingga mempermudah proses respirasi
4
Oksigenasi
Pemberian oksigen secara adequat dapat mensuplai dan memberikan cadangan oksigen, sehingga mencegah terjadinya hipoksia.
5
Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam
Dyspneu, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai dengan kerja jantung yang menurun timbul takikardia dan capilary refill time yang memanjang/lama.
6
Observasi timbulnya gagal nafas.
Ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan intervensi yang kritis dengan menggunakan alat bantu pernafasan (mekanical ventilation)
7
Kolaborasi dalam pemberian obat pengencer sekresi(mukolitik)
Obat mukolitik dapat mengencerkan sekret yang kental sehingga mempermudah pengeluaran dan memcegah kekentalan

2.      Diagnosa II
Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot-otot pernafasan, yang ditandai dengan kejang rangsanng, kontraksi otot-otot pernafasan, adanya lendir dan sekret yang menumpuk.
Tujuan       : Pola nafas teratur dan normal
Kriteria      :
*      Hipoksemia teratasi, mengalami perbaikan pemenuhan kebutuahn oksigen
*      Tidak sesak, pernafasan normal 16-18 kali/menit
*      Tidak sianosis.
No
Intervensi
Rasional
1
Monitor irama pernafasan dan respirati rate
Indikasi adanya penyimpangan atau kelaianan dari pernafasan dapat dilihat dari frekuensi, jenis pernafasan,kemampuan dan irama nafas.
2
. Atur posisi luruskan jalan nafas.
Jalan nafas yang longgar dan tidak ada sumbatan proses respirasi dapat berjalan dengan lancar.
3
Observasi tanda dan gejala sianosis
Sianosis merupakan salah satu tanda manifestasi ketidakadekuatan suply O2 pada jaringan tubuh perifer
4
. Oksigenasi
Pemberian oksigen secara adequat dapat mensuplai dan memberikan cadangan oksigen, sehingga mencegah terjadinya hipoksia
5
Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam
Dyspneu, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai dengan kerja jantung yang menurun timbul takikardia dan capilary refill time yang memanjang/lama.
6
Observasi timbulnya gagal nafas.
Ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan intervensi yang kritis dengan menggunakan alat bantu pernafasan (mekanical ventilation).
7
Kolaborasi dalam pemeriksaan analisa gas darah.
Kompensasi tubuh terhadap gangguan proses difusi dan perfusi jaringan dapat diketahui.



3.      Diagnosa III
Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan efeks toksin (bakterimia) yang dditandai dengan suhu tubuh 38-40 oC, hiperhidrasi, sel darah putih lebih dari 10.000 /mm3
Tujuan       : Suhu tubuh normal
Kriteria      :
*      Suhu tubuh 36-37 oC
*      Hasil lab sel darah putih (leukosit) antara 5.000 - 10.000/mm3
NO
Intervensi
Rasional
1
. Atur suhu lingkungan yang nyaman.
Iklim lingkungan dapat mempengaruhi kondisi dan suhu tubuh individu sebagai suatu proses adaptasi melalui proses evaporasi dan konveksi.
2
Pantau suhu tubuh tiap 2 jam
Identifikasi perkembangan gejala-gajala ke arah syok exhaution
3
Berikan hidrasi atau minum ysng cukup adequat
Cairan-cairan membantu menyegarkan badan dan merupakan kompresi badan dari dalam
4
Lakukan tindakan teknik aseptik dan antiseptik pada perawatan luka.
.
Perawatan lukan mengeleminasi kemungkinan toksin yang masih berada disekitar luka.
5
Berikan kompres dingin bila tidak terjadi ekternal rangsangan kejang.
Kompres dingin merupakan salah satu cara untuk menurunkan suhu tubuh dengan cara proses konduksi.
6
Laksanakan program pengobatan antibiotik dan antipieretik
Obat-obat antibakterial dapat mempunyai spektrum lluas untuk mengobati bakteeerria gram positif atau bakteria gram negatif. Antipieretik bekerja sebagai proses termoregulasi untuk mengantisipasi panas.
7
Kolaboratif dalam pemeriksaan lab leukosit.
Hasil pemeriksaan leukosit yang meningkat lebih dari 10.000 /mm3 mengindikasikan adanya infeksi dan atau untuk mengikuti perkembangan pengobatan yang diprogramkan
4.      Diagnosa IV
Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kekakuan otot pengunyah yang ditandai dengan intake kurang, makan dan minuman yang masuk lewat mulut kembali lagi dapat melalui hidung dan berat badan menurun ddiserta hasil pemeriksaan protein atau albumin kurang dari 3,5 mg%.
Tujuan       : Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Kriteria      :
*      BB optimal
*      Intake adekuat
*      Hasil pemeriksaan albumin 3,5-5 mg %
No.
Intervensi
Rasional
1
Jelaskan faktor yang mempengaruhi kesulitan dalam makan dan pentingnya makanabagi tubuh
Dampak dari tetanus adalah adanya kekakuan dari otot pengunyah sehingga klien mengalami kesulitan menelan dan kadang timbul refflek balik atau kesedak. Dengan tingkat pengetahuan yang adequat diharapkan klien dapat berpartsipatif dan kooperatif dalam program diit.
2
Kolaboratif :
Pemberian diit TKTP cair, lunak atau bubur kasar.
Pemberian carian per IV line
Pemasangan NGT bila perlu
Diit yang diberikan sesuai dengan keadaan klien dari tingkat membuka mulut dan proses mengunyah.
Pemberian cairan perinfus diberikan pada klien dengan ketidakmampuan mengunyak atau tidak bisa makan lewat mulut sehingga kebutuhan nutrisi terpenuhi.
NGT dapat berfungsi sebagai masuknya makanan juga untuk memberikan obat
5.      Diagnosa V
Resiko injuri berhubungan dengan aktifitas kejang
Tujuan       : Cedera tidak terjadi
Kriteria      :
*      Klien tidak ada cedera
*      Tidur dengan tempat tidur yang terpasang pengaman

Intervensi
Rasional
1
Identifikasi dan hindari faktor pencetus
Menghindari kemungkinan terjadinya cedera akibat dari stimulus kejang
2
Tempatkan pasien pada tempat tidur pada pasien yang memakai pengaman
Menurunkan kemungkinan adanya trauma jika terjadi kejang
3
Sediakan disamping tempat tidur tongue spatel
Antisipasi dini pertolongan kejang akan mengurangi resiko yang dapat memperberat kondisi klien
4
Lindungi pasien pada saat kejang
Mencegah terjadinya benturan/trauma yang memungkinkan terjadinya cedera fisik
5
Catat penyebab mulai terjadinya kejang
Pendokumentasian yang akurat, memudah-kan pengontrolan dan identifikasi kejang

6.      Diagnosa IV
Defisit velume cairan berhubungan dengan intake cairan tidak adekuat
Tujuan       : Klien tidak memperlihatkan kekurangan velume cairan
Kriteria      :
*   Membran mukosa lembab, Turgor kulit baik
No.
Intervensi
Rasional
1
Kaji intake dan out put setiap 24 jam
Memberikan informasi tentang status cairan /volume sirkulasi dan kebutuhan penggantian
2
Kaji tanda-tanda dehidrasi, membran mukosa, dan turgor kulit setiap 24 jam
Indikator keadekuatan sirkulasi perifer dan hidrasi seluler
3
Berikan dan pertahankan intake oral dan parenteral sesuai indikasi ( infus 12 tts/m, NGT 40 cc/4 jam) dan disesuaikan dengan perkembangan kondisi pasien
Mempertahankan kebutuhan cairan tubuh
4
Monitor berat jenis urine dan pengeluarannya
Penurunan keluaran urine pekat dan peningkatan berat jenis urine diduga dehidrasi/ peningkatan kebutuhan cairan
5
Pertahankan kepatenan NGT
Mempertahankan intake nutrisi untuk kebutuhan tubuh


BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat dengan tempat luka, sering progresif menjadi spasme otot umum yang berat serta diperberat dengan kegagalan respirasi dan ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala klinis tetanus hampir selalu berhubungan dengan kerja toksin pada susunan saraf pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada sistem saraf perifer atau otot.
Tetanus  secara umum adalah suatu penyakit akut yang disebabkan oleh Clostridium tetani yang menghasilkan eksitoksin.

B.     Saran
           Dengan adanya informasi tentang penyakit tetanus ini diharapkan dapat mendorong tenaga kesehatan, khususnya tenaga keperawatan untuk mengembangkan perbaikan kualitas asuhan keperawatan kepada klien dengan tetanus, supaya komplikasi – komplikasi yang tidak diharapkan tidak akan terjadi dan tujuan asuhan keperawatan yang diharapkan akan tercapai.
Kelompok menyadari, penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan, demi perbaikan penyusunan makalah kami kedepannya.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, khususnya mahasiswa/i Akademi Keperawatan Sintang.

           
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, ME. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi.3. Jakarta: EGC
Mansjoer, arif. dkk. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3, jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.
Noer, sjaifoellah. dkk. (2000). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3, jilid 1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar