BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Cedera kepala adalah salah satu masalah
kesehatan yang merupakan penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok
usia produktif dan sebagian besar terjadi kecelakaan lalu lintas, disamping
penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit,
penilaian dan tindakan awal dan di ruang gawat darurat sangat menentukan
penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya (Mansjoer A, dkk, 2009).
Menurut Miller (1978) dalam Saanin
(2007), memperkirakan kecelakaan kendaraan bermotor adalah penyebab yang paling
sering terjadinya cedera kepala, diperkirakan sekitar 49% dari kasus, biasanya
dengan derajat cedera kepala yang lebih berat dan lebih sering mengenai usia
15-24 tahun. Sedangkan jatuh lebih sering terjadi pada anak-anak serta biasanya
dalam derajat yang kurang berat. Klien dengan kecelakaan kendaraan bermotor
biasanya disertai cedera berganda, dan lebih dari 50% penderita cedera berat
disertai oleh cedera sistematik berat.
Di Amerika Serikat, kejadian cedera
kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah
tersebut, 10% meninggal dunia sebelum tiba dirumah sakit. Sedangkan yang sampai
rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), dan 10%
termasuk dalam cedera kepala sedang (CKS),dan 10% sisanya adalah digolongkan
sebagai cedera kepala berat (CKB). Insiden cedera kepala terutama terjadi pada
kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan
penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh, dan
3%-9% disebabkan oleh tindakan kekerasan, kegiatan olah raga dan rekreasi
(Irwana, 2009).
Menurut Oman, KS, dkk (2008), prevalensi
cedera kepala di Amerika Serikat ada 2 juta kasus yang terjadi setiap tahunnya,
satu setengah juta merupakan cedera ringan yang ditangani sebagai klien rawat
jalan, sedangkan 500.000 kasus mengalami cedera kepala yang cukup parah dan
memerlukan perawatan dirumah sakit, jumlah tersebut memprediksikan besarnya
kemungkinan menghadapi klien cedera kepala, cedera kepala merupakan penyebab
separuh dari seluruh kematian akibat kecelakaan kendaraan bermotor, orang muda memiliki
insiden cedera kepala yang paling tertinggi, dan orang tua merupakan kelompok
berikutnya yang mempunyai angka insiden tertinggi, serta dengan bertambahnya
populasi manula di Amerika Serikat, insiden tersebut akan meningkat.
Angka kejadian cedera kepala di
Indonesia masih cukup tinggi. Penanganan akan berlanjut dalam jangka waktu lama
dan melibatkan banyak pihak termasuk keluarga, orang-orang di lingkungan
sekitar, di samping tenaga medis dan para medis. Sedangkan dari data rekam
medik RSUD Ade Mohammad Djoen Sintang tiga tahun terakhir adalah sebagai
berikut:
1. Januari
– Desember 2010 sebanyak 420 orang
2. Januari
– Desember 2011 sebanyak 435 orang
3. Januari
– Juli 2012 sebanyak 378 orang.
Melihat banyaknya kasus Cedera Kepala Sedang
berdasarkan hasil data rekam medik RSUD Ade Mohammad Djoen Sintang, maka penulis
merasa tertarik untuk mengambil
kasus mengenai Asuhan Keperawatan pada Tn.
Y dengan Cedera Kepala Sedang di Ruang Perawatan Bedah RSUD Ade Muhammad Djoen
Sintang yang berorientasikan pada penerapan asuhan keperawatan secara komprehensif dengan pendekatan proses keperawatan, dan fokus
pemberian asuhan keperawatan adalah untuk meminimalkan risiko komplikasi yaitu hemorrhagic, infeksi, edema serebral,
dan hernia.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam Laporan Kasus ini adalah: Bagaimana gambaran Asuhan Keperawatan pada
Tn. Y
dengan Cedera Kepala Sedang diruang Perawatan Bedah RSUD Ade Muhammad Djoen Sintang.
C.
Tujuan
Penulisan
1. Tujuan
umum
Agar penulis dapat memperoleh gambaran nyata dalam
melaksanakan Asuhan Keperawatan pada Tn. Y
dengan Cedera Kepala Sedang di Ruang Perawatan Bedah RSUD Ade Mohammad Djoen Sintang.
2. Tujuan
khusus
Tujuan
khusus dari penulisan kasus ini, penulis mampu:
a. Memahami
Askep dan Teori klien dengan Cedera Kepala Sedang
b. Melakukan
pengkajian pada klien dengan Cedera Kepala Sedang.
c. Menyusun
diagnosa keperawatan pada klien dengan Cedera Kepala Sedang.
d. Menyusun
perencanaan keperawatan pada klien dengan Cedera Kepala Sedang
e. Melaksanaankan
implementasi keperawatan pada klien dengan Cedera Kepala Sedang.
f. Melakukan
evaluasi asuhan keperawatan pada klien dengan Cedera Kepala Sedang.
g. Membandingkan
perbedaan antara konsep Cedera Kepala Sedang secara teoritis dengan kasus yang
terjadi di lapangan.
D.
Ruang
Lingkup Penulisan
Adapun ruang
lingkup penulisan Laporan Kasus ini, penulis hanya membatasi masalah pada Asuhan
Keperawatan pada Tn. Y dengan Cedera Kepala Sedang yang dirawat di Ruang Perawatan Bedah RSUD
Ade Mohammad Djoen Sintang selama 3 hari, dari tanggal 5 Juli 2012 sampai
dengan tanggal 7 Juli 2012.
E.
Metode
Penulisan
Penulis dalam menyelesaikan Laporan
Kasus ini menggunakan metode deskriptif yaitu
metode ilmiah yang bersifat mengumpulkan data, menganalisa dan menarik
kesimpulan.
Tekhnik
pengumpulan data adalah sebagai berikut:
1. Studi
kepustakaan dengan mencari dan menelaah berbagai referensi yang berkaitan
dengan laporan kasus ini.
2.
Studi
kasus dengan melakukan observasi dan analisa.
F.
Sistematika
Penulisan
Penulisan Laporan Kasus ini terdiri atas
5 bab, yaitu Bab I: Pendahuluan, yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, ruang
lingkup penulisan, metode penulisan, serta sistematika penulisan. Bab II
Tinjauan pustaka yang
terdiri dari tinjauan Asuhan Keperawatan dan landasan teori kasus. Bab
III Aplikasi Asuhan Keperawatan terdiri
dari pengkajian
keperawatan, diagnosis keperawatan, perencanaan keperawatan, implementasi keperawatan dan evaluasi keperawatan. Bab IV Pembahasan yang terdiri dari pengkajian keperawatan, diagnosis
keperawatan, perencanaan keperawatan, implementasi keperawatan dan evaluasi keperawatan, dan Bab V Penutup
yang terdiri dari kesimpulan dan
saran.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
Sebelum memberikan Asuhan
Keperawatan pada klien dengan Cedera Kepala Sedang ini, pemahaman perawat tentang teori yang
mendasar sangatlah penting. Dalam bab ini, penulis akan membahas mengenai Asuhan Keperawatan
pada klien dengan Cedera Kepala Sedang
secara teoritis dan konsep dasar anatomi fisiologi sistem
persyarafan Cedera Kepala Sedang.
A. Tinjauan Asuhan
Keperawatan
Asuhan keperawatan adalah faktor penting dalam survival
klien dan dalam aspek-aspek pemeliharaan, rehabilitas dan preventif keperawatan
kesehatan. Untuk sampai pada hal ini, profesi keperawatan keperawatan telah
mengidentifikasikan proses pemecahan masalah yang menggabungkan elemen yang
saling relevan dari system teori, dengan metode ilmiah (Doenges, 2006).
Proses keperawatan adalah suatu
metode pemberian asuhan keperawatan yang logis dan sistematis, dinamis dan
teratur yang memerlukan pendekatan, perencanaan dan pelaksanaan asuhan
keperawatan yang metodis dan teratur dengan mempertimbangkan ciri-ciri pasien
yang bersifat bio-psiko-sosio-spiritual maupun masalah kesehatannya. (Depkes
RI, 2008)
Menurut Nursalam (2005), proses keperawatan adalah metode dimana suatu
konsep diterapkan dalam praktik keperawatan. Hal ini bisa disebut sebagai suatu
pendekatan problem solving yang
memerlukan ilmu, teknik, dan keterampilan interpersonal
dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan klien/keluarga.
Adapun
tujuan dari proses keperawatan ini adalah, pertama, menggunakan metode
pemecahan masalah. Dalam hal ini perawat mengidentifikasi seluruh kebutuhan
yang diperlukan klien, dimana menggambarkan masalah yang terjadi pada klien,
baik yang aktual maupun resiko. Sehingga perawat dapat menetapkan desain
pemecahan masalahnya, dan tindakan yang dilakukan perawat merupakan tindakan
yang bertujuan untuk memecahkan masalah yang terjadi pada klien. Kedua,
menggunakan standar untuk praktik keperawatan. Standar praktik diperlukan untuk
menjaga mutu asuhan yang diberikan kepada klien. Ketiga, memperoleh metode yang
baku dan sesuai, rasional (logis), dan sistematis (urut, rapi). Keempat,
memperoleh metode yang dapat dipakai dalam segala situasi. Kelima, mempunyai
hasil keperawatan yang berkualitas tinggi.
Dalam melakukan asuhan keperawatan
pada klien cedera kepala sedang ini menurut Doenges (2006), dilakukan melalui lima proses keperawatan,
yaitu: pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan, perencanaan keperawatan,
implementasi keperawatan dan evaluasi keperawatan.
1.
Pengkajian keperawatan
Pengkajian adalah tahap awal dan
dasar dalam proses keperawatan. Pengkajian merupakan tahap yang paling
menentukan bagi tahap berikutnya. Kemampuan mengidentifikasi masalah keperawatan yang terjadi pada tahap ini akan
menentukan diagnosis keperawatan. Diagnosis yang diangkat akan menentukan
desain perencanaan yang ditetapkan. Selanjutnya, tindakan keperawatan dan
evaluasi mengikuti perencanaan yang dibuat. Oleh karena itu, pengkajian harus
dilakukan dengan teliti dan cermat, sehingga seluruh kebutuhan perawatan pada klien dapat di identifikasi, (Rohmah dan Walid, 2009). Pengkajian adalah
tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematis
dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan
mengidentifikasi status kesehatan klien (Nursalam, 2005).
Pengkajian meliputi pengumpulan data, validasi data, pengorganisasian data,
dan identifikasi masalah/analisa data. Jenis pengumpulan data ada dua yaitu
pengumpulan data dasar (Data Base
Nursing) yang mengumpulkan data secara lengkap pada saat kontrak awal dengan
klien dan pengkajian fokus (Fokus
Nursing Assesment) yang mengumpulkan data yang berfokus pada masalah
keperawatan spesifik yang sudah diidentifikasi dari hasil pengumpulan data
dasar sedangkan tipe data ada dua yaitu data subjektif yang didapatkan dari
klien dan data objektif yang dapat
diobservasi dan diukur. Validasi data untuk meyakinkan bahwa data yang
diperoleh berdasarkan pengumpulan data adalah fakta. Pengorganisasian data
adalah mengelompokan berdasarkan kerangka kerja yang dapat membantu
mengidentifikasi masalah keperawatan dan analisa data adalah mengelompokan data
sesuai dengan keadaan klien.
Berikut beberapa hal yang perlu
dikaji pada klien Cedera Kepala Sedang
yaitu:
a.
Aktivitas/istirahat
Gejala: Merasa
lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda: Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, quardreplegia, ataksia cara berjalan tak tegap, masalah
dalam keseimbangan, cedera kepala
ringan (trauma ortopedi), kehilangan tonus
otot spastik.
b.
Sirkulasi
Gejala: Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi),Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
c.
Integritas ego
Gejala: Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).
Tanda: Cemas, mudah tersinggung, delirium,
agitasi, bingung, depresi dan impulsif.
d.
Eliminasi
Gejala: Inkontinensia kandung kemih/usus atau mengalami gangguan
fungsi.
e.
Makanan/cairan
Gejala: Mual, muntah, dan mengalami
perubahan selera.
Tanda: Muntah
(mungkin proyektil). Gangguan
menelan (batu air liur keluar, disfagia).
f.
Neuro sensori
Gejala:
Kehilangan kesadaran sementara, amnesia
seputar kejadian. Vertigo, sinkope, tinnitus, kehilangan
pendengaran, tingling, baal pada ekstremitas.
Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya,
diplopia kehilangan sebagian lapang
pandang, fotofobia. Gangguan pengecapan dan juga penciuman.
Tanda: Perubahan kesadaran bisa sampai koma. Perubahan status mental
(orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah,
pengaruh emosi/tingkah laku dan memori). Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetris), deviasi pada mata, ketidakmampuan
mengikuti. Kehilangan penginderaan, seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran.
Wajah tidak simetris. Genggaman lemah, tidak seimbang. Refleks tendon dalam tidak ada atau lemah. kejang. Sangat sensitif
terhadap sentuhan dan gerakan. Kehilangan sensasi sebagian tubuh. Kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.
g.
Nyeri /kenyamanan
Gejala:
Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda biasanya lama.
Tanda: Wajah menyeringai, respons menarik pada
rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa beristirahat, merintih.
h.
Pernapasan
Tanda: Perubahan pola napas (apnea
yang diselingi hiperventilasi). Napas
berbunyi, stridor, tersedak. Ronki, mengi positif (kemungkinan karena
aspirasi).
i.
Keamanan
Gejala: Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda: Fraktur/dislokasi.
Gangguan penglihatan. Kulit: laserasi, abrasi,
perubahan warna, seperti “raccoon eye”,
tanda Batle disekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma). Adanya aliran
cairan (drainase) dari telinga/hidung (cairan serebro spinal). Gangguan kognitif. Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralisis. Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
j.
Interaksi sosial
Tanda: Afasia motorik/sensorik, bicara tanpa arti,
bicara berulang-ulang, disartria, anomia.
2.
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa
Keperawatan adalah tahap dimana perawat menggunakan kemampuan berfikir kritis
dalam menafsirkan analisa data terhadap kekuatan dan masalah klien (Kozier, et.
al, 2004).
Adapun diagnosa keperawatan pada
klien cedera kepala sedang menurut Wahyu, dkk
(2008) dan Smeltzer dan Bare (2002) yaitu:
a.
Perubahan perfusi jaringan serebral b.d
trauma kepala, penghentian aliran darah oleh SOL (space occupaying lesion) (hemoragi,
hematoma); edema serebral (respons
lokal atau umum pada cedera, perubahan metabolik,
takar lajak obat/alkohol); penurunan TD (tekanan darah) sistemik/hipoksia (hipovolemia,
disritmia jantung), peningkatan tekanan intrakranial (PTIK)
(Wahyu, dkk, 2008)
b.
Risiko tinggi terhadap tak
efektif pola napas b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak);
kerusakan persepsi atau kognitif; obstruksi trakeobronkial. (Wahyu,
dkk, 2008)
c. Perubahan persepsi sensori
b.d perubahan resepsi sensori, transmisi dan atau integrasi (trauma atau defisit neurologis). (Smeltzer dan Bare, 2002)
d. Perubahan proses pikir b.d
perubahan fisiologis; konflik psikologis.
(Smeltzer
dan Bare, 2002)
e.
Kerusakan
mobilitas fisik b.d kerusakan persepsi
atau kognitif; penurunan
kekuatan/tahanan; terapi pembatasan/kewaspadaan keamanan, misal, tirah baring, imobilisasi. (Wahyu, dkk, 2008)
f.
Defisit perawatan diri b.d
kerusakan mobilitas fisik (Wahyu, dkk,
2008)
g.
Risiko
tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma,
kulit rusak, prosedur invasif;
penurunan kerja silia, stasis cairan
tubuh; kekurangan nutrisi; respon
inflamasi tertekan (penggunaan steroid); perubahan integritas sistem tertutup kebocoran cairan serebrospinal (CSS). (Wahyu, dkk, 2008)
h. Risiko tinggi terhadap perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat keasadaran;
kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan; status hipermetabolik.
(Smeltzer dan Bare, 2002).
i.
Perubahan proses keluarga b.d
transisi dan krisis situasional; ketidakpastian tentang hasil/ harapan.. (Smeltzer dan Bare, 2002)
j.
Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan b.d kurang
pemajanan, tidak mengenal informasi/sumber-sumber; kurang mengingat/
keterbatasan kognitif. (Wahyu, dkk, 2008)
3.
Perencanaan Keperawatan
Perencanaan
atau rencana asuhan keperawatan adalah petunjuk tertulis yang menggambarkan
secara tepat mengenai rencana tindakan yang dilakukan terhadap klien sesuai
dengan kebutuhannya berdasarkan diagnosa keperawatan.
Dalam
merumuskan tujuan harus memenuhi syarat yaitu seperti, dapat diukur, dapat
dicapai, realitas, dan ada standar mutu, hal ini dimaksudkan agar tindakan
keperawatan yang diberikan tidak menyimpang dari masalah yang dihadapi,
sehingga tindakan menjadi efisien, efektif dan langsung tertuju pada pemecahan
masalah.
Rencana asuhan keperawatan disusun
dengan melibatkan klien secara optimal agar dalam pelaksanaan asuhan
keperawatan terjalin suatu kerjasama yang saling membantu dalam proses
pencapaian tujuan keperawatan dalam memenuhi kebutuhan klien.
Dari diagnosa keperawatan diatas
dapat disusun rencana asuhan keperawatan sebagai berikut:
a.
Perubahan perfusi jaringan serebral
b.d penghentian aliran darah oleh SOL (space occupaying lesion) (hemoragi,
hematoma); edema serebral
(respons lokal atau umum pada cedera, perubahan metabolik, takar lajak obat/alkohol); penurunan TD (tekanan darah) sistemik/hipoksia (hipovolemia,
disritmia jantung).
1)
Tujuan: Perubahan perfusi
jaringan serebral tidak terjadi.
2)
Kriteria
Hasil: mempertahankan tingkat kesadaran biasa/ perbaikan, kognisi, dan fungsi motorik/sensorik;
mendemonstrasikan tanda vital stabil dan tak ada tanda-tanda tekanan intrakranial.
3) Rencana:
a)Observasi status neurologis.
Rasional: hasil dari pengkajian dapat diketahui secara
dini adanya tanda-tanda PTIK sehingga
dapat menentukan arah tindakan selanjutnya. Kecenderungan terjadinya penurunan
nilai GCS menandakan adanya peningkatan tekanan intracranial dari normal 0-15
mmHg.
b) Monitor TTV (TD, nadi, RR, suhu)
minimal setiap jam sampai
keadaan klien
stabil.
Rasional: dapat mendeteksi secara dini tanda-tanda peningkatan
TIK.
c) Naikkan kepala dengan sudut 15-450
(tidak hiperekstensi dan
fleksi)
dan posisi netral (dari kepala hingga daerah lumbal
dalam garis lurus)
Rasional: dengan posisi
kepala 15–450 dari badan dan kaki maka akan meningkatkan dan
melancarkan aliran balik darah vena kepala sehingga mengurangi kongesti serebrum, edema dan mencegah
terjadinya peningkatan TIK. Posisi
netral tanpa hiperekstensi dan fleksi dapat mencegah penekanan pada
saraf medula spinalis yang menambah
peningkatan TIK.
d) Monitor masukan dan haluaran setiap
8 jam sekali.
Rasional: untuk mencegah
kelebihan cairan yang dapat menambah edema
serebri sehingga terjadi peningkatan TIK.
e) Monitor suhu dan atur suhu lingkungan sesuai
indikasi.
Rasional: demam
menandakan gangguan hipotalamus.
Peningkatan kebutuhan metabolik karena
demam dan suhu lingkungan yang panas akan meningkatkan TIK.
f) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian
obat-obatan anti edema seperti manitol, gliserol dan lasix. Rasional: manitol atau gliserol
merupakan cairan hipertonis yang berguna
untuk menarik cairan dari intraseluler (sel)
keekstraseluler (vaskuler). Lasix untuk meningkatkan ekskresi natrium dan air yang diinginkan, untuk
mengurangi edema otak.
b. Risiko tinggi terhadap tak efektif pola
napas b.d kerusakan neurovaskuler (cedera
pada pusat pernapasan otak); kerusakan persepsi
atau kognitif; obstruksi
trakeobronkial.
1) Tujuan: pola napas efektif dalam batas normal.
2) Kriteria Hasil: Pola napas
dalam batas normal dengan frekuensi 14-
20 kali/menit (dewasa) dan
iramanya teratur; bunyi napas normal tidak ada stridor, ronchi, dullness dan wheezing;
tidak ada pernapasan cuping hidung;
pergerakan dada simetris/tidak ada retraksi; nilai AGD arteri normal, yaitu:
pH darah 7,35-7,45; PaO2 80-100 mmHg; PaCO2 35-45 mmHg;
HCO3- 22-26 mEq/L; BE-2,5-+2,5; Saturasi O2
95-98%.
3) Rencana:
a)
Pantau frekuensi, irama,
kedalaman pernapasan.
Rasional: perubahan
yang terjadi dari hasil pengkajian berguna dalam menunjukkan adanya
komplikasi pulmonal dan luasnya
bagian otak yang terkena.
b) Catat kompetensi reflek gag/menelan dan kemampuan klien
untuk melindungi jalan napas sendiri.
Rasional: kemampuan
memobilisasi atau membersihkan sekresi penting
untuk pemeliharaan jalan napas.
c) Lakukan pengisapan dengan ekstra
hati-hati, jangan lebih dari
15 detik. Catat karakter, warna dan
kekeruhan dari sekret.
Rasional: penghisapan
biasanya dibutuhkan jika klien koma atau dalam keadaan imobilisasi dan tidak dapat membersihkan jalan napasnya sendiri.
d) Auskultasi suara napas.
Rasional: untuk
mengidentifikasi adanya masalah paru seperti atelektasis, kongesti
atau obstruksi jalan napas yang
membahayakan oksigenasi serebral dan menandakan terjadinya infeksi paru.
e) Kolaborasi
berikan oksigen.
Rasional: memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan membantu
dalam pencegahan hipoksia.
c.
Perubahan persepsi sensori b.d perubahan resepsi
sensori, transmisi dan /atau integrasi (trauma atau defisit neurologit).
1) Tujuan: tidak terjadi perubahan
persepsi sensori
2) Kriteria hasil: Melakukan kembali
atau mempertahankan tingkat kesadaran
biasanya dan fungsi persepsi, mengakui
perubahan dalam kemampuan dan adanya keterlibatan residu, mendemonstrasikan
perubahan prilaku atau gaya hidup untuk mengkompensasi atau defisit hasil.
3) Rencana:
a) Kaji kesadaran
sensorik seperti respons sentuhan,
panas atau
dingin, benda tajam atau tumpul dan kesadaran terhadap
gerakan dan letak tubuh.
Rasional: informasi penting untuk
keamanan klien.
b) Catat adanya perubahan yang
spesifik dalam hal kemampuan seperti memusatkan kedua mata dengan mengikuti
instruksi verbal yang sederhana dengan jawaban “ya” atau “tidak”, makan sendiri
dengan tangan dominan klien.
Rasional: membantu melokalisasi daerah otak yang
mengalami gangguan dan mengidentifikasi tanda dan perkembangan terhadap
peningkatan fungsi neurologis.
c) Hilangkan
suara bising atau stimulasi yang berlebihan sesuai kebutuhan.
Rasional: menurunkan ansietas,
respon emosi yang berlebihan atau bingung yang berhubungan dengan sensorik yang berlebihan.
d) Pastikan atau validasi persepsi klien dan berikan
umpan balik
Rasional: membantu klien untuk memisahakan pada realitas
dari perubahan persepsi.
e) Berikan lingkungan terstruktur termasuk
terapi, aktivitas.
Rasional: meningkatkan
konsistensi dan keyakinan yang dapat menurunkan ansietas yang berhubungan dengan ketidaktahun klien tersebut.
f)
Berikan kesempatan yang lebih banyak untuk berkomunikasi dan melakukan
aktivitas.
Rasional:
menurunkan frustasi.
g)
Kolaborasi dengan ahli fisioterapi, terapi okupasi, terapi wicara, dan terapi kognitif.
Rasional: pendekatan
antar disiplin dapat menciptakan rencana penatalaksnaan integrasi yang didasarkan atas kombinasi kemampuan/ ketidakmampuan
secara individu yang berfokus pada peningkatan evaluasi dan fungsi fisik, kognitif, dan keterampilan perseptual.
d. Perubahan proses pikir b.d
perubahan fisiologis; konflik psikologis.
1)
Tujuan: perubahan proses pikir tidak terjadi.
2) Kriteria hasil:
Mempertahankan/melakukan kembali orientasi
mental dan realitas biasanya, mengenali perubahan
berpikir/perilaku, berpartisipasi dalam
aturan terapeautik.
3) Rencana:
a) Pastikan dengan orang terdekat untuk
membandingkan
kepribadian/tingkah
laku klien sebelum mengalami trauma dengan
respon klien sekarang.
Rasional: masa
pemulihan cedera kepala ringan meliputi fase agitasi, respons marah dan berbicara/proses pikir yang kacau.
b) Dengarkan dengan penuh perhatian semua hal
yang
diungkapkan klien.
Rasional: perhatian
dan dukungan yang diberikan pada individu akan meningkatkan harga diri dan
mendorong kesinambungan usaha tersebut.
c) Tingkatkan sosialisasi dalam batas-batas yang
wajar.
Rasional: penguatan
terhadap tingkah laku yang positif (seperti interaksi yang sesuai dengan orang
lain) mungkin bermanfaat dalam proses belajar struktur internal.
d) Anjurkan untuk melakukan teknik relaksasi.
Rasional: dapat membantu untuk memfokuskan kembali
perhatian klien dan untuk menurunkan ansietas.
e.
Kerusakan mobilitas fisik b.d kerusakan persepsi
atau kognitif; penurunan
kekuatan/tahanan; terapi pembatasan/kewaspadaan keamanan, misal, tirah baring, imobilisasi.
1) Tujuan: mampu melakukan aktivitas
fisik dan ADL (activity daily living),
tidak terjadi komplikasi dekubitus,
bronkopneumonia, tromboplebitis dan
kontraktur sendi.
2) Kriteria
hasil: Klien mampu dan pulih kembali setelah pasca akut
dalam mempertahankan fungsi gerak, tidak terjadi dekubitus, bronkopneumonia, tromboplebitis dan kontraktur sendi, mampu mempertahankan
keseimbangan tubuh, mampu melakukan aktivitas ringan pasca akut dan aktivitas
sehari-hari pada tahap rehabilitasi sesuai kemampuan.
3)
Rencana:
a) Kaji tingkat kemampuan mobilisasi dengan skala 0–4.
Rasional: Untuk
menentukan tingkat aktivitas dan bantuan yang diberikan.
b) Atur
posisi dan ubah secara teratur tiap 2 jam sekali.
Rasional: merubah
posisi secara teratur dapat meningkatkan sirkulasi seluruh tubuh dan mencegah
adanya penekanan pada organ tubuh yang menonjol.
c) Berikan/bantu untuk melakukan latihan rentang
gerak.
Rasional:
mempertahankan fungsi sendi dan mencegah penurunan tonus dan kekuatan otot dan
mencegah kontraktur.
d) Lakukan massage,
perawatan kulit, dan mempertahankan alat
alat tenun bersih dan kering.
Rasional: meningkatkan sirkulasi, elastisitas kulit dan integritas kulit.
f.
Defisit perawatan diri b.d
kerusakan mobilitas fisik
1)
Tujuan: klien mampu melakukan
aktivitas fisik dan kebutuhan personal hygiene dan kebutuhan sehari-hari klien
dapat terpenuhi
2)
kriteria hasil: klien mampu dan
pulih kembali setelah kecelakaan dan klien tampak segar, badan klien tampak
bersih, rambut klien tampak bersih dan rapi, kuku klien pendek dan bersih, gigi
klien tampak bersih.
3)
Rencana:
a)
Kaji kemampuan klien
Rasional: Untuk mengetahui kemampuan yang di miliki klien
dan untuk mengetahui tingkat kekuatan dan kemampuan klien
b) Bantu klien dalam aktivitas (bantu klien bangun dari tempat tidur),
Rasional: Untuk merelaksasi otot klien
c) Kaji kekuatan tonus otot
Rasional: Untuk mengetahui
kemampuan yang di miliki klien dan untuk mengetahui tingkat kekuatan dan
kemampuan klien
d)
Bantu klien dalam personal
hygiene, mandi, perawatan kuku jari kaki dan tangan, ganti alat tenun. Ganti
alat tenun
Rasional:
Untuk memenuhi kebutuhan personal hygiene klien
e) Anjurkan klien untuk Range of motion jika tidak ada indikasi Rencana: Untuk melatih kekuatan otot dan
relaksasi
f)
Kolaborasi dengan ahli
fisioterapi dalam melakukan latihan fisik
Rasional:
Untuk melatih kekuatan otot dan mencegah artrofi otot
g.
Risiko tinggi terhadap infeksi
b.d jaringan trauma, kulit rusak,
prosedur invasif; penurunan kerja
silia, stasis cairan tubuh;
kekurangan nutrisi; respon inflamasi
tertekan (penggunaan steroid);
perubahan integritas sistem tertutup
kebocoran cairan serebrospinal (CSS).
1).
Tujuan: Infeksi tidak terjadi.
2).
Kriteria hasil: tidak terdapat
tanda-tanda infeksi seperti rubor,
dolor, kalor,
tumor dan fungsiolesa; tidak ada
pus.
3). Rencana:
a) Observasi
daerah luka.
Rasional: deteksi dini
perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera dan
pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.
b) Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah
melakukan tindakan
perawatan
secara aseptik dan anti septik.
Rasional: untuk mencegah infeksi nosokomil. Anjurkan untuk
melakukan nafas dalam.
Rasional: peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi paru untuk menurunkan risiko
terjadinya pneumonia, atelektasis.
c) Anjurkan untuk melakukan nafas dalam
Rasional: peningkatan
mobilisasi dan pembersihan sekresi paru untuk menurunkan resiko terjadinya
pneumonia, etelektasis.
d)
Monitor
suhu tubuh dan penurunan kesadaran.
Rasional:
untuk mendeteksi tanda-tanda sepsis.
e) Kolaborasi dengan tim medis dalam
pemberian obat antibiotik
Rasional: antibiotik berguna untuk membunuh atau
memberantas bibit penyakit yang masuk ke
dalam tubuh sehingga infeksi dapat dicegah.
f) Kolaborasi dengan tim analis untuk
pemeriksanaan
laboratorium (kadar leukosit).
Rasional: kadar leukosit darah dan urin adalah indikator
dalam menentukan adanya infeksi.
h. Resiko tinggi
terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d perubahan kemampuan
untuk mencerna nutrien (penurunan
tingkat keasadaran; kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah,menelan;
status hipermetabolik.
(1) Tujuan: kekurangan nutrisi tidak
terjadi.
(2) Kriteria hasil: BB klien normal (BB
normal = TB–100– (10 % TB-100), tanda-tanda nutrisi tidak ada, nilai-nilai
hasil laboratorium normal (protein total 6–8 gram %, albumin 3,5–5,3 gr %,
globulin 1,8–3,6 gr %, Hb tidak kurang dari 10 gr %)
(3) Rencana:
a) Observasi kemampuan mengunyah, menelan, reflek batuk dan cara mengeluarkan sekret.
Rasional: dapat menentukan pilihan cara pemberian jenis makanan.
b) Auskultasi bising usus.
Rasional:
fungsi saluran pencernaan harus tetap dipertahankan pada penderita cedera
kepala ringan. Perdarahan lambung akan menurunkan peristaltik. Bising usus membantu untuk menentukan pemberian
makanan dan mencegah komplikasi.
c) Timbang berat badan.
Rasional: penimbangan berat badan dapat mendeteksi perkembangan berat
badan.
d) Berikan makanan dalam porsi sering
tapi sedikit.
Rasional: memudahkan proses pencernaan dan toleransi klien terhadap
nutrisi.
e) Tinggikan kepala ketika makan.
Rasional: mencegah regurgitasi dan aspirasi.
f) Kolaborasi dengan tim analis untuk
pemeriksaan laboratorium (protein total, globulin,
albumin dan Hb)
Rasional: untuk mengidentifikasi defisiensi nutrisi.
i.
Perubahan proses keluarga b.d transisi dan krisis situasional ketidakpastian tentang hasil/ harapan.
1) Tujuan: keluarga dapat
beradaptasi terhadap perubahan pengalaman
traumatik secara konstruktif.
2) Kriteria hasil: mulai
mengekspresikan perasaan dengan bebas
dan
tepat, mendorong dan memungkinkan anggota
yang cedera untuk
maju untuk ke arah kemandirian.
3) Rencana:
a) Catat bagian-bagian dari unit keluarga,
dengan keberadaan/ keterlibatan sistem pendukung.
Rasional: menentukan adanya sumber keluarga
dan mengindentifikasikan hal-hal
yang diperlukan.
b) Anjurkan keluarga untuk mengungkapkan
hal-hal yang menjadi perhatiannya.
Rasional:
pengungkapan tentang rasa takut secara terbuka dapat menurunkan ansietas dan meningkatkan koping
terhadap realitas.
c)
Anjurkan untuk mengakui
perasaannya.
Rasional:
untuk membantu seseorang menyatakan perasaannya tentang apa yang sedang
terjadi.
d)
Berikan penguatan awal terhadap
penjelasan tentang luasnya trauma, rencana pengobatan dan prognosisnya.
Rasional:
dapat membantu menurunkan konsepsi
yang keliru.
j.
Kurang pengetahuan (kebutuhan
belajar) mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan b.d kurang pemajanan, tidak
mengenal informasi/sumber-sumber; kurang mengingat/ keterbatasan kognitif.
1) Tujuan: dapat berpartisipasi dalam proses belajar.
2) Kriteria hasil: mengungkapkan pemahaman tentang
kondisi, aturan
pengobatan,
potensial komplikasi.
3) Rencana:
a) Evaluasi kemampuan dan kesiapan untuk belajar
dari klien dan keluarganya.
Rasional: memungkinkan untuk menyampaikan
bahan yang didasarkan atas
kebutuhan secara individual.
b) Diskusikan rencana untuk memenuhi kebutuhan
perawatan diri.
Rasional: berbagai tingkat bantuan mungkin
perlu direncanakan yang didasarkan atas kebutuhan yang bersifat
individual.
c) Berikan instruksi
dalam bentuk tulisan.
Rasional:
memberikan penguatan visual dan
rujukan setelah sembuh.
d) Berikan kembali informasi yang
berhubungan dengan proses trauma dan pengaruh sesudahnya.
Rasional:
membantu dalam menciptakan harapan yang realistis dan meningkatkan pemahaman pada keadaan saat
ini dan kebutuhannya.
e) Berikan
penguatan terhadap pengobatan yang diberikan sekarang.
Rasional:
aktivitas, pembatasan, pengobatan yang direkomendasikan diberikan atas dasar pendekatan dan evaluasi amat penting untuk
perkembangan pemulihan/pencegahan
terhadap komplikasi.
4. Implementasi keperawatan
Pelaksanaan
merupakan langkah keempat dalam proses keperawatan dengan melaksanakan berbagai
strategi keperawatan (tindakan keperawatan yang telah direncanakan dalam
rencana tindakan keperawatan (Hidayat AA, 2004).
Menurut
Gaffar, LOJ, (2002), implementasi merupakan pelaksanaan perencanaan keperawatan oleh
perawat dan klien. Hal-hal yang harus diperhatikan ketika melakukan
implementasi adalah intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah
dilakukan validasi, penguasaan keterampilan interpersonal, intelektual, dan
teknikal. Intervensi harus dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi
yang tepat, keamanan fisik dan psikologi dilindungi dan dokumentasi keperawatan
berupa pencatatan dan pelaporan.
5. Evaluasi keperawatan
Evaluasi
adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan
seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaan sudah
berhasil dicapai (Nursalam, 2005).
Sedangkan
menurut Hidayat AA,
(2004),
evaluasi merupakan tahapan akhir dari proses keperawatan. Evaluasi menyediakan
nilai informasi mengenai pengaruh intervensi yang telah direncanakan dan
merupakan perbandingan dari hasil yang diamati dengan kriteria hasil yang telah
dibuat pada tahap perencanaan.
B.
Landasan Teori Kasus
1.
Anatomi Fisiologi Cerebri
Sistem persyarafan terdiri dari otak,
saraf perifer dan medula spinalis. Struktur – struktur ini berfungsi untuk
kontrol dan koordinasi aktivitas sel tubuh melalui impuls-impuls elektrik (Smeltzer dan Bare , 2002).
Gambar
1. Anatomi Otak manusia
( wikimu: 2008 )
|
Motor korteks
|
LOBUS FRONTAL
|
Cerebral corteks
|
LOBUS PARIETAL
|
LOBUS OCCIPITAL
|
Corpus collosum
|
Cerebellum
|
LOBUS TEMPORAL
|
Thalamus
|
Hypothalamus
|
Amygdala
|
a.
Otak
Otak merupakan alat tubuh yang sangat penting
karena merupakan pusat komputer dari semua alat tubuh. Otak terdiri dari:
1)
Otak besar ( Serebrum)
Serebrum merupakan bagian otak yang
paling besar dan yang paling menonjol. Disini terletak pusat-pusat yang
mengatur semua kegiatan sensorik dan motorik, juga mengatur proses penalaran,
memori, dan inteligensi. Pada otak besar ditemukan beberapa lobus yaitu:
a)
Lobus Frontal
Lobus frontalis mencakup bagian dari
korteks serebrum bagian depan yaitu dari sulkus sentralis dan di dasar sulkus
lateralis. Lobus frontalis bertanggung jawab untuk prilaku bertujuan, penentuan
keputusan moral, dan pemikiran yang kompleks.
b)
Lobus Parietalis
Lonus parietalis terletak di belakang
sulkus sentralis, di atas fisura lateralis, dan meluas ke belakang ke fisura
parieto-oksipitalis. Lobus parietalis merupakan area sensorik primer otak untuk
sensasi raba dan pendengaran.
c)
Lobus Oksipitalis
Lobus oksipitalis terletak di sebelah
posterior dari lobus parietalis dan di atas fisura-oksipitalis, yang
memisahkannya dari serebrum. Lobus ini menerima informasi yang berasal dari
retina mata.
d)
Lobus Temporalis
Lobus temporalis mencakup bagian korteks
serebrum yang berjalan ke bawah dari fisura lateralis dan ke sebelah posterior
dari fisura parieto-oksipitalis. Lobus ini terlibat dalam interpretasi bau dan
penyimpanan memori.
2)
Otak kecil ( Serebelum)
Serebelum terletak di dalam fosa kranii
posterior dan ditutupi oleh durameter yang menyerupai atap tenda, yaitu
tentorium, yang memisahkannya dari bagian posterior serebrum. Ada dua fungsi
utama serebelum, meliputi:
a)
Mengatur otot-otot postural
tubuh
b)
Melakukan program akan
gerakan-gerakan pada keadaan sadar maupun bawah sadar.
Serebelum mengkoordinasi penyesuaian
secara tepat dan otomatis dengan memelihara keseimbangan tubuh. Serebelum
merupakan pusat refleks yang mengkoordinasi dan memperhalus gerakan otot, serta
mengubah tonus, dan kekuatan kontraksi untuk mempertahankan keseimbangan dan
sikap tubuh.
3)
Batang otak
Batang otak terletak pada fosa anterior, bagian – bagian batang otak
terdiri dari:
a)
Diensefalon
Diensefalon Bagian batang otak paling
atas terdapat diatara serebelum dengan mensensefalon. Fungsi diensefalon adalah
memproses rangsang sensorik dan membantu mencetuskan atau memodifikasi reaksi
tubuh terhadap rangsang-rangsang tersebut.
b)
Mesensefalon ( otak tengah)
Merupakan bagian pendek dari batang otak
yang letaknya di atas pons. Bagian ini mencakup bagian posterior, yaitu tektum
yang terdiri atas kolikuli superior dan kolikuli inferior serta bagian
anterior, yaitu pedunkulus serebri. Kolikuli superior berperan dalam refleks
penglihatan dan koordinasi gerakan penglihatan, kolikuli inferior berperan
dalam refleks pendengaran, misalnya menggerakkan kepala ke arah datangnya
suara.
c)
Pons
Merupakan serabut yang menghubungkan
kedua hemisfer serebelum serta menghubungkan mesensefalon di sebelah atas
dengan medula oblongata. Bagian bawah pons berperan dalam pengaturan
pernapasan. Nukleus saraf kranial V ( trigeminus), VI ( abdusen), dan VII (
fasialis) terdapat di sini.
d)
Medula oblongata
Merupakan pusat refleks yang pentinh
untuk jantung, vasokonstriktor, pernapasan, bersin, batuk, menelan, pengeluaran
air liur, dan muntah.
b.
Saraf-saraf perifer
Syaraf kranial
terdiri dari:
1)
Nervus olfaktorius ( sensorik)
Fungsi sebagai
penciuman
2)
Nervus optikus ( sensorik)
Fungsi sebagai
penglihatan
3)
Nervus okulomotorius ( motorik)
Fungsinya sebagai
mengangkat kelopak mata atas
4)
Nervus troklearis ( motorik)
Fungsi sebagai
gerakan mata ke bawah dan ke dalam
5)
Nervus abdusen ( motorik)
Fungsi sebagai
deviasi mata ke lateral
6)
Nervus trigeminus ( motorik)
Otot temporalis dan
maseter ( menutup rahang dan mengunyah) gerakan rahang ke lateral
7)
Nervus fasialis (motorik)
Fungsi sebagai
pengecapan, salivasi, lakrimasi dan pergerakan otot wajah
8)
Nervus vestibularis ( sensorik)
Fungsi sebagai
keseimbangan
9)
Nervus glosofaringeus ( motorik)
Fungsi
sebagaipengecapan, sensasi lain dari lidah, salivasi, dan menelan
10)
Nervus vagus ( motorik)
Fungsi sebagai
menelan, monitor kadar oksigendan karbondioksida, dan tekanan darah
11)
Nervus aksesorius ( motorik)
Fungsi sebagai
produksi suara di laring, pergerakan kepala dan bahu
12)
Nervus hipoglosus ( motorik)
Fungsi sebagai
pergerakan lidah
c.
Medula spinalis
Medula spinalis merupakan bagian susunan
syaraf pusat yang terletak didalam kanalis vetebralis. Medula spinalis dan batang otak membentuk struktur kontinu
yang keluar dari hemisfer serebral dengan memberikan tugas sebagai penghubung
otak dan saraf perifer, seperti kulit dan otak. Panjangnya kira-kira 45 cm dan
menipis pada jari-jari.medula sepinalis terdiri dari 33 segmen yaitu 7 segmen
servikal, 12 torak, 5 lumbal, 5 sakral dan 5 segmen koksigius. Medula spinalis
mempunyai 31 pasang saraf spinal;masing-masing
segmen mempunyai satu untuk setiap sisi tubuh. Medula spinalis dikelilingi oleh
meningen, dura, araknoid dan pia meter. medula spinalis berbebtuk H dengan
badan sel saraf dikelilingi traktus asenden dan desenden. (Smeltzer dan Bare, 2002) & (Syaifuddin, 2006).
2.
Pengertian cedera kepala sedang
Cidera kepala adalah kerusakan jaringan otak yang diakibatkan oleh adanya
trauma (benturan benda atau serpihan tulang) yang menembus atau merobek suatu
jaringan otak, oleh pengaruh suatu
kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak dan akhirnya oleh efek percepatan
perlambatan pada otak yang terbatas pada kompartemen yang kaku (Price &
Wilson, 2005).
Cedera kepala sedang adalah trauma kulit kepala, tengkorak,
dan otak (Smeltzer dan Bare, 2002)
Cedera
kepala sedang adalah trauma yang mengenai otak yang disebabkan oleh kekuatan
eksternal yang menimbulkan perubahan kemampuan kognitif, fungsi fisik, fungsi
tingkah laku dan emosional. (Wahyu, dkk, 2008)
Kesimpulan
dari cedera kepala sedang adalah suatu trauma atau gangguan fungsi otak yang
mengenai kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang disebabkan oleh injuri, trauma tumpul atau trauma tusuk.
Cedera kepala dapat diklasifikasikan
menjadi:
a.
Cedera kepala ringan/Mild
Head Injury (GCS 13-15 dengan
kehilangan kesadaran kurang dari 0-15 menit)
b.
Cedera kepala sedang/Moderat
Head Injury (GCS 9-12 dengan kehilangan
kesadaran sampai dengan 6 jam)
c.
Cedera kepala berat/Savere
Head Injury (GCS 3-5 dengan kehilangan kesadaran > 6 jam)
3.
Etiologi
Jatuh; kecelakaan
kendaraan motor, sepeda dan mobil; kecelakaan pada saat olahraga. (Suriadi dan Yuliani, 2005)
4.
Patofisiologi
Trauma langsung/ Benturan
Cedera fokal cedera difus
Memar otak, hematom epidural, Subdural, intraserebral
Gangguan fungsional
Gelombang
kejut Pada seluruh arah
Mengubah tekanan jaringan
otak
Tekanan jaringan otak akan
meningkat
Jaringan otak akan rusak coup Suplay darah
keotak menurun
Gangguan suplay oksigen dan
glukosa pada sel
Gangguan metabolisme ( anaerob)
Penumpukan asam
laktat
Udem
Herniasi pada foramen tentorium, magnum/
falks serebrum
Iskemi Nekrosis
Mati
Gambar 2. Patofisiologi Cedera
Kepala Sedang (Sjamsuhidayat & jong, 2005)
|
5.
Tanda dan
gejala
Tanda dan gejala yang terjadi pada klien cedera kepala sedang menurut Corwin (
2009) adalah:
a.
Pada konkusio, segera terjadi kehilangan kesadaran
b.
Pada hematom, kesadaran mungkin hilang segera atau bertahap seiring
dengan membesarnya hematom
c.
Pola pernapasan dapat secara progesif menjadi abnormal
d.
Respon pupil mungkin lenyap
atau secara progesif memburuk
e.
Nyeri kepala dapat muncul
segera atau bertahap seiring dengan peningkatan tekanan intrakranium
f.
Dapat timbul muntah-muntah
akibat peningkatan tekanan intrakran
Menilai tingkat
keparahan menurut Mansjoer, dkk.
(2009) adalah:
a.
Cedera
kepala ringan ringan (kelompok risiko rendah)
1) Skor skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, atentif,
dan orientatif
2) Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya konkusi)
3) Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
4) Klien dapat mengeluh nyeri kepala
dan pusing
5) Klien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala
6) Tidak adanya kriteria cedera
sedang berat
b. Cedera kepala ringan sedang (kelompok
risiko sedang)
1) Skor skala koma Glasgow 9-14 (konfusi, latergi, atau stupor)
2) Konkusi
3) Amnesia pasca-trauma
4) Muntah
5) Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda Battle, mata rabun, hemotimpanum,
otorea atau rinorea cairan serebrospinal)
6) Kejang
c.
Cedera
kepala ringan berat (kelompok risiko berat)
1) Skor skala koma Glasgow 3-8 (koma)
2) Penurunan derajat kesadaran secara
progesif
3) Tanda neurologis fokal
4) Cedera kepala ringan penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium
6. Pemeriksaan diagnostik
Pada klien cedera
kepala sedang dilakukan pemeriksaan diagnostik
sebagai berikut:
a. Tomografi komputerisasi atau pencitraan resonan magnetik
untuk mengidentifikasi dan melokalisir lesi,
edema serebral, pendarahan
b. Sinar X tengkorak
dan spinal servikal untuk
mengidentifikasi fraktur dan dislokasi
c.
Uji neuropsikologis selama fase rehabilitasi
untuk menentukan defisit kognitif
d.
Angiografi serebral: menunjukkan
kelainan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema,
perdarahan, trauma
e.
BAER (Brain Auditory Evoked Respons),
menentukan fungsi korteks dan batang
otak
f.
PET (Positron Enission Tomography),
menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme pada otak
g. Pungsi lumbal: dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan subarakhnoid
h.
GDA (Gas Darah Arteri):
mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenisasi yang akan dapat
meningkatkan TIK ( Doenges, 2006 )
7.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada klien dengan cedera kepala ringan
menurut Corwin (2009) adalah:
a.
Konkusio ringan atau sedang biasanya
diterapi dengan observasi dan tirah baring
b. Untuk cedera kepala ringan terbuka di
perlukan antibiotik
c. Metode-metode untuk menurunkan tekanan intrakranium termasuk pemberian diuretik dan obat anti inflamasi
d. Mungkin diperlukan ligasi pembuluh darah yang pecah dan evakuasi hematoma secara
bedah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar