BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seiring dengan
perkembangan zaman yang semakin modern dan seiring dengan jumlah
penduduk yang terus meningkat, maka pola dan gaya hidup pun semakin beraneka ragam dan
ditambah dengan aktivitas manusia yang tidak memperhatikan lingkungan, sehingga menimbulkan
polusi udara
sehingga dapat berdampak negatif bagi kesehatan. Berbagai macam penyakit yang tanpa disadari dapat
terjadi akibat polusi udara antara
lain Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK).
Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK) adalah Penyakit Paru Kronik yang progresif, artinya penyakit ini berlangsung seumur hidup
dan semakin memburuk secara lambat dari tahun ke tahun. Dalam perjalanan
penyakit ini terdapat fase-fase eksaserbasi akut. Berbagai faktor berperan pada
perjalanan penyakit ini, antara lain faktor resiko yaitu faktor yang
menimbulkan atau memperburuk penyakit seperti kebiasaan merokok, polusi udara,
polusi lingkungan, infeksi, genetik dan perubahan cuaca.
PPOK adalah klasifikasi luas dari gangguan, yang mencakup
bronkitis kronis, bronkiektasis, emfisema, dan asma. PPOK merupakan kondisi ireversibel yang berkaitan dengan
dipsnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-paru.
PPOK merupakan penyebab kematian kelima terbesar di
Amerika Serikat. Penyakit ini menyerang lebih dari 25% populasi dewasa. (Smeltzer
dan Bare. 2002. hal.595).
Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, PPOK menempati peringkat ke-4 sebagai
penyakit uang menyebabkan kematian di Indonesia pada tahun 2010. Dalam dekade
mendatang akan meningkat ke peringkat ketiga. Tanpa disadari, angka kematian
akibat PPOK semakin meningkat. Adapun catatan laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam World Health Report pada tahun 2000
menyebutkan, lima penyakit paru utama merupakan 17,4% dari seluruh kematian di
dunia, masing-masing infeksi paru 7,2%, PPOK 4,8%, tuberkulosis 3,0%, kaker
paru/ trakea/ bronkus 2,1%, dan asma 0,3% (suara pembaharuan Daily, 2007).
PPOK dianggap sebagai penyakit yang berhubungan dengan
interaksi genetik dengan lingkungan. Adapun faktor penyebabnya adalah: merokok, polusi udara, dan pemajanan di tempat
kerja (terhadap batu bara, kapas, padi-padian) merupakan faktor-faktor resiko
penting yang menunjang pada terjadinya penyakit ini. Prosesnya dapat terjadi
dalam rentang lebih dari 20-30 tahunan. PPOK juga
ditemukan terjadi pada individu yang tidak mempunyai enzim yang normal mencegah
penghancuran jaringan paru oleh enzim tertentu. PPOK tampak timbul cukup dini dalam kehidupan dan merupakan
kelainan yang mempunyai kemajuan lambat yang timbul bertahun-tahun sebelum
awitan gejala-gejala klinis kerusakan fungsi paru (Smeltzer dan Bare. 2005.
hal. 595).
Di
Indonesia belum ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Namun pada survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian akibat
asma, bronkitis kronis dan emfisema menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab
tersering kematian di Indonesia. Angka kesakitan penderita PPOK laki-laki
mencapai 4% dan angka kematian 6%, sedangkan angka kesakitan wanita 2% dan
angka kematian 4%, dengan umur penderita di atas 45 tahun ( www.webmaster@klikpdpi.com, 2007).
Di
Kabupaten Sintang, khususnya di Rumah
Sakit Umum Daerah Ade Muhammad Djoen Sintang, berdasarkan data yang diperoleh
dari buku register ruang perawatan penyakit dalam, ditemukan bahwa penyakit
sistem pernapasan khususnya Penyakit Paru Obstruksi Kronik terdapat 12 kasus yang terdiri dari 11 kasus
terjadi pada laki-laki dan 1 kasus terjadi pada perempuan dari 2518 pasien yang pernah dirawat di ruang Perawatan Penyakit Dalam dari Juni 2007
sampai Juni 2008, sedangkan pada
tahun 2012 penderita Penyakit
Paru Obstruksi Kronik sebanyak 163 dari jumlah pasien di Ruang Perawatan
Penyakit Dalam sebanyak 3872 yang
terhitung dari Januari 2012 sampai mei 2012.
Untuk menyelesaikan
pendidikan D3 keperawatan, dalam hal ini penulis mengambil kasus kelolaan
selama 3 hari dengan gangguan sistem pernapasan
khususnya Penyakit
Paru Obstruksi Kronik (PPOK) pada Tn. S yang
di ambil di Ruang Perawatan Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Ade Muhammad Djoen
Sintang.
B.
Rumusan masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam laporan kasus ini
adalah: “Bagaimana gambaran pelaksanaan Asuhan Keperawatan pada klien dengan
gangguan sistem pernapasan: Penyakit Paru
Obstruksi Kronik (PPOK) di Rumah Sakit Umum Daerah Ade Muhammad Djoen
Sintang”.
C. Tujuan Penulisan
1.
Tujuan Umum
Memberikan gambaran secara nyata terhadap aplikasi
asuhan keperawatan dengan masalah gangguan
sistem pernapasan : Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) yang dilakukan secara
komprehensif dengan pendekatan proses Asuhan Keperawatan.
2.
Tujuan Khusus
Tujuan khusus laparan kasus
ini adalah:
a.
Memahami
konsep dasar Penyakit Paru Obstruksi Kronik.
b.
Mampu mengumpulkan data dengan lengkap tentang Penyakit Paru Obstruksi Kronik.
c.
Mampu menentukan diagnosa keperawatan pada klien
dengan Penyakit
Paru Obstruksi Kronik.
d.
Mampu
menetapkan rencana keperawatan pada klien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik.
e.
Mampu
melakukan implementasi keperawatan pada
klien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik.
f.
Mampu
mengevaluasi keadaan pasien secara keselurahan Serta mampu mendokumentasikan
tindakan keperawatan yang telah di lakukan kepada klien.
g.
Mengaplikasikan
Asuhan Keperawatan pada klien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik secara langsung.
h.
Mengidentifikasikan
kesenjangan antara teori dengan praktik pada kasus Penyakit Paru Obstruksi Kronik.
i.
Membuat kesimpulan dan memberikan saran dari pengaplikasian Asuhan Keperawatan Penyakit Paru Obstruksi Kronik.
D. Ruang Lingkup Permasalahan
Mengingat luasnya
permasalahan dan terbatasnya waktu, tenaga serta dana yang tersedia dalam
menyusun laporan kasus ini, maka dari itu pada penulisan laporan kasus ini, penyusun membatasi masalah hanya pada asuhan
keperawatan pada Tn. S dengan gangguan sistem pernapasan: Penyakit Paru Obstruksi Kronik di Ruang Perawatan Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum
Daerah Ade Muhammad Djoen Sintang yang
di lakukan Asuhan Keperawatan selama tiga hari yaitu, dari tanggal 02 Juli 2012 sampai 04 Juli 2012.
E. Metode
Penyusunan
Dalam penyusunan
laporan kasus ini penulis mengunakan metode pendekatan secara metode deskriptif yaitu metode ilmiah yang mengumpulkan data, menganalisa dan menarik
kesimpulan. Untuk menyelesaikan Karya
Tulis Ilmiah ini maka penulis mengumpulkan data-data dengan menggunakan
berbagai sumber, yaitu;
1. Wawancara
Wawancara
dilakukan untuk mendapatkan data subjektif dengan menggunakan pertanyaan
terbuka atau tertutup, penulis bertanya langsung kepada klien tentang keadaan
dan keluhan klien secara langsung dengan demikian akan memudahkan penulis untuk
mengetahui masalah keperawatan klien dengan gangguan system pernapasan: Penyakit
Paru Obstruksi Kronik.
2. Pemeriksaan Fisik
Adapun
pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah inspeksi, palpasi, perkusi, dan
auskultasi.
3. Observasi
Penulis
melakukan pengamatan untuk mendapatkan data yang objektif dilakukan langsung terhadap
klien secara nyata, selanjutnya penulis melakukan tindakan keperawatan
berdasarkan pengamatan sehingga data yang didapatkan menjadi lengkap.
4. Studi Dokumentasi
Penulis menggunakan berbagai sumber
buku, internet, data penyakit dari rekam medik Rumah Sakit Ade
Muhammad Djoen Sintang dan literatur,
adapun literatur yang dilaksanakan dengan membaca buku,
majalah, jurnal penelitian, surat kabar atau artikel ilmiah (Hidayat, 2004). Sebagai referensi yang membahas tentang gangguan sistem pernapasan : Penyakit Paru Obstruksi Kronik.
5. Metode Kepustakaan
Dalam metode
deskriptif ini penulis menggunakan studi literatur
informasi dari bahan-bahan bacaan seperti
buku-buku di perpustakaan sebagai literatur yang relevan dengan kasus yang
diambil sebagai bahan dalam pembuatan Karya Tulis.
F. Sistematika Penyusunan
Laporan kasus ini terdiri dari lima
bab; Bab I berisi tentang Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, ruang lingkup
permasalahan dan metode penyusunan serta sistematika penulisan; Bab
II Tinjauan Asuhan Keperawatan yang berisi tentang pengertian
asuhan keperawatan, pengkajiaan, diagnosa keperawatan, rencana tindakan,
implementasi, evaluasi, dan landasan teori kasus yang
terdiri dari pengertian, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinik, pemeriksaan
diagnostik, komplikasi dan penatalaksanaan serta; Bab III Asuhan Keperawatan klien yang
terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana tindakan keperawatan,
implementasi keperawatan dan evaluasi keperawatan; Bab IV Pembahasan Aplikasi Asuhan Keperawatan yang meliputi
kesenjangan antara teori dan praktik; Bab V Penutup yang berisi tentang
kesimpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Tinjauan Asuhan Keperawatan
1. Pengertian Asuhan Keperawatan
Ilmu
keperawatan adalah suatu ilmu yang mempelajari pemenuhan kebutuhan dasar
manusia mulai dari biologis, psikologis, sosial dan dan spiritual. Pemenuhan
kebutuhan dasar tersebut diterapkan dalam pemberian asuhan keperawatan dalam
praktik keperawatan profesional. Untuk tercapainya suatu asuhan keperawatan
professional diperlukan suatu pendekatan yang disebut “Dokumentasi”, keperawatan sebagai data
tertulis yang menjelaskan tentang penyampaian informasi (komunikasi), penerapan sesuai standar
praktik, dan pelaksanaan proses keperawatan (Nursalam, 2009).
Asuhan keperawatan adalah suatu
proses atau rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan yang langsung diberikan
kepada pasien pada berbagai tatanan pelayanan kesehatan. Asuhan keperawatan
dilaksanakan menggunakan metodologi pemecaha masalah melalui pendekatan proses
keperawatan, berpedoman pada standar keperawatan, dilandasi etik dan etika
keperawatan dalam lingkup wewenang serta tanggung jawabnya (Nursalam, 2009).
Keperawatana adalah
disiplin profesional yang menerapkan banyak bentuk pengetahuan dan keterampilan
berpikir kritis dalam setiap situasi klien melalui pengunaan model keperawatan
dalam proses keperawatan (Paula J. Christensen Janet W. Kenney, 2009).
Keperawatan merupakan suatu bentuk layanan
kesehatan profesional yang merupakan bagian integral dari layanan kesehatan
yang berlandaskan ilmu dan kiat keperawatan berbentuk pelayanan bio, psiko,
sosial, dan spiritual yang komprehensif yang bertujukan bagi individu, keluarga,
dan masyarakat baik dalam keadaan sehat ataupun sakit, serta mencakup seluruh
proses kehidupan (Asmadi, 2008).
Proses keperawatan
menyediakan struktur bagian praktik keperawatan dan merupakan sebuah kerangka
pengguanaan pengetahuan dan keterampilan yang dilakukan oleh perawat untuk
mengekspresikan human caring ( Judith
M. Wilkinson, 2007).
Proses keperawatan
merupakan cara yang sistematis yang dilakukan oleh perawat bersama klien dalam
menentukan kebutuhan asuhan keperawatan dengan melakukan pengkajian, menentukan
diagnosis, merencanakan tindakan yang akan dilakukan, melaksanakan tindakan
serta mengevaluasi hasil asuhan yang telah diberikan dengan berfokus pada
klien, berorientasi pada tujuan setiap tahap saling terjadi ketergantungan dan
saling berhubungan (A. Aziz Alimul
Hidayat, 2009).
a.
Pengkajian
Pengkajian merupakan adalah tahap
awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses pengumpulan data yang
sistematis dari sumber untuk mengevaluasi dan
mengidentifikasi status kesehatan klien (Nursalam, 2009).
Pengkajian merupakan suatu proses
pengumpulan data yang berkelanjutan
guna menentukan kekuatan dan masalah kesehatan klien. ( Paula J. Christensen
Janet W. Kenney, 2009).
Pengkajian mencakup informasi tentang
gejala-gejala terakhir dan manifestasi penyakit sebelumnya. Berikut ini
beberapa pedoman pertanyaan untuk mendapatkan data riwayat kesehatan dari
proses penyakit:
1)
Sudah berapa lama pasien
mengalami kesulitan pernapasan?
2)
Apakah aktivitas meningkatkan
dispnea?
3)
Berapa jauh batasan pasien
terhadap toleransi aktivitas?
4)
Kapan pasien mengeluh paling
letih dan sesak napas?
5)
Apakah kebiasaan makan dan
tidur terpengaruh?
6)
Riwayat merokok?
7)
Obat yang dipakaisetiap hari?
8)
Obat yang dipakai pada serangan
akut?
9)
Apa yang diketahui pasien
tentang kondisi dan penyakitnya?
Data yang tambahan yang dikumpulkan
melalui observasi dan pemeriksaan sebagai berikut:
1)
Frekuensi nadi dan pernapasan
pasien
2)
Apakah pernapasan sama tanpa
upaya?
3)
Apakah ada kontraksi otot-otot
abdomen selama inspirasi?
4)
Apakah ada penggunaan otot-otot
aksesori pernapasan selama pernapasan?
5)
Barrel chest?
6)
Apakah tampak sianosis?
7)
Apakah ada batuk?
8)
Apakah ada edema perifer?
9)
Apakah vena leher tampak
membesar?
10)
Apa warna, jumlah dan
konsistensi sputum pasien?
11)
Bagaimana status sensorium
pasien?
12)
Apakah terdapat peningkatan
stupor?
13)
Kegelisahan?
Palpasi:
1)
Palpasi pengurangan
pengembangan dada?
2)
Adakah fremitus taktil menurun?
Perkusi:
1)
Adakah hiperesonansi pada
perkusi?
2)
Diafragma bergerak hanya
sedikit?
Auskultasi:
1)
Adakah suara wheezing yang
nyaring?
2)
Adakah suara ronkhi?
3)
Vokal fremitus nomal atau
menurun?
b.
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu
pernyataan yang menjelaskan respon manusia (status kesehatan atau resiko
perubahan pola) dari individu atau kelompok dimana perawat secara akuntabilitas
dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga
setatus kesehatan, menurunkan membatasi, mencegah dan merubah (Nursalam, 2009).
Diagnosa keperawatan adalah analisis/ sintesis data untuk
mengidentifikasi pola dan dibandingkan
dengan normal dan model. Diagnosa keperawatan merupakan Suatu pernyataan yang jelas dan ringkas
tentang situasi kesehatan klien dan masalah yang sesuai dengan intervensi
keperawatan (Paula J. Christensen Janet
W. Kenney, 2009).
Diagnosa keperawatan pada penyakit
paru obstruksi kronik menurut ( Judith
M. Wilkinson, 2007).
1)
Bersihan jalan napas tidak
efektif berhubungan dengan penumpukan sekret
2)
Kerusakan pertukaran gas
berhubungan dengan gangguan suplai oksigen (obstruksi jalan nafas oleh sekresi,
spasme bronkus, jebakan udara).
3)
Perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan
memasukkan makanan, anoreksia, mual
4)
Gangguan pola
tidur berhubungan dengan perubahan lingkungan
5)
Kurang pengetahuan mengenai
kondisi, tindakan berhubungan dengan kurangnya informasi/ tidak mengenal sumber
informasi.
6)
Resiko tinggi terhadap infeksi
berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan pertama (penurunan kerja silia,
menetapnya sekret).
c.
Rencana Tindakan
Rencana
keperawatan adalah penentuan
bagaimana dapat membantu klien dalam menyelesaikan masalah yang berhubungan
dengan pemulihan, pemeliharaan, atau promosi kesehatan ( Paula J. Christensen
Janet W. Kenney, 2009).
Keperawatan diartikan sebagai suatu dokumen tulisan dalam
menyelesaikan masalah, tujuan, dan intervensi (Nursalam, 2009). Rencana untuk diagnosa keperawatan pada klien dengan penyakit paru obstruksi kronik
menurut ( Judith M. Wilkinson, 2007).
1)
Bersihan jalan napas berhubungan
dengan adanya penumpukan sekret
Tujuan dan Kriteria hasil : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x 24
jam diharapkan bersihan jalan napas kembali efektif dengan kriteria hasil klien
mengatakan tidak batuk berdahak lagi, tidak ada sekret di saluran napas, klien
dapat mengeluarkan sekret serta RR normal(18-20x/ menit).
Intrevensi :
a)
Auskultasi
bunyi napas. Catat adanya bunyi napas misalnya mengi, krekels, ronki.
Rasional : beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan napas.
b) Kaji / pantau pernapasan. catat rasio
inspirasi/ ekspirasi.
Rasional : takipnea
biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan/ selama
stres/ adanya proses infeksi akut. Pernapasan dapat melambat dan frekuensi
ekspirasi memanjang dibandingkan inspirasi.
c) Kaji posisi yang nyaman misalnya
peninggian kepala tempat tidur.
Rasional : peninggian kepala tempat tidur
mempermudah bernapas.
d) Berikan klien posisi semi fowler atau fowler bantu klien untuk batuk dan latih napas dalam.
Rasional : Membantu memaksimalkan ekspansi
paru dan menurunkan upaya pernapasan.
e) Observasi karakteristik batuk, misalnya
menetap, batuk pendek, basah.
Rasional : Batuk dapat menetap tetapi tidak
efektif, khususnya pada lansia, sakit akut, atau kelemahan.
f) Tingkatkan masukan cairan sampai 3000
ml/hari sesuai toleransi jantung.
Rasional : Pemasukan tinggi cairan membantu untuk
mengencerkan sekret.
g) Kolaborasi : Berikan humidifikasi
tambahan misalnya nebuliser ultranik.
Rasional : Kelembaban menurunkan kekentalan sekret
mempermudah pengeluaran dan dapat menurunkan pembentukan mukosa tebal pada bronkus.
h) Kolaborasi : beri obat-obat sesuai
indikasi, bronkodilator.
Rasional : Bronkodilator
meningkatkan ukuran lumen cabangan trakeobronkial, sehingga menurunkan
tahanan terhadap aliran udara.
2)
Kerusakan
pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen.
Tujuan dan Kriteria hasil : Setelah dilakukan asuhan
keperawatan selama 3x 24 jam diharapkan pertukaran gas kembali normal dengan kriteria hasil
bernapas dengan mudah, tidak ada sianosis,
PO2 normal (80-100 mmHg) PCO2 normal (35-45 mmHg) dan
saturasi O2 normal (95-100%).
Intervensi
:
a) Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan.
Rasional : Berguna dalam evaluasi derajat distres
pernapasan dan/ atau kronisnya proses penyakit.
b) Tinggikan kepala tempat tidur, bantu
pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk bernapas.
Rasional : Pengiriman oksigen dapat diperbaiki
dengan posisi duduk tinggi.
c) Kaji/ awasi secar rutin kulit dan warna membran mukosa.
Rasional : Sianosis
mungkin perifer atau sentral.
Keabu-abuan dan sianosis sentral
mengidentifikasi beratnya hipoksia.
d) Awasi tanda vital dan irama jantung.
Rasional : Takikardia,
disritmia, dan perubahan TD dapat menunjukkan efek hipoksia sistemik pada fungsi jantung.
e) Kolaborasi : Berikan oksigen tambahan yang
sesuai dengan indikasi
Rasional : Dapat memperbaiki/ mencegah memburuknya hipoksia.
3)
Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia, mual/ muntah, ketidakmampuan memasukkan
makanan.
Tujuan dan Kriteria hasil : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x 24 jam diharapkan Kebutuhan nutrisi terpenuhi dengan
kriteria hasil berat badan meningkat, klien tidak mual lagi saat makan, nilai laboratorium normal, dan bebas tanda
malnutrisi.
Intervensi :
a)
Kaji kebiasaan diet, masukan
makanan saat ini. Catat derajat kesulitan makan. Evaluasi berat badan dan
ukuran tubuh.
Rasional : Pasien distres pernapasan akut sering anoreksia karena dispnea, produksi sputum dan obat.
b) Berikan perawatan oral sering, buang
sekret, berikan wadah khusus untuk sekali pakai dan tisu.
Rasional : Rasa tak enak, bau
dan penampilan adalah pencegah utama terhadap nafsu makan dan dapat membuat
mual dan muntah dengan peningkatan kesulitan napas.
c) Hindari makanan penghasil gas dan
minuman karbonat.
Rasional : Dapat
menghasilkan distensi abdomen yang menggangu napas dan gerakan diafragma, dan
dapat meningkatkan dispnea.
d) Hindari makanan yang panas atau
sangat dingin.
Rasional : Suhu
ekstrem dapat mencetuskan/meningkatkan spasme
batuk.
e) Timbang berat badan sesuai indikasi.
Rasional : Berguna untuk
menentukan kebutuhan kalori.
f)
Kolaborasi : Konsul
ahli gizi pendukung tim untuk memberikan
makanan yang mudah di cerna.
Rasional :
Metode makan dan kebutuhan kalori didasarkan pada situasi/kebutuhan individu
untuk memberikan nutrisi maksimal.
4)
Gangguan pola
tidur berhubungan dengan perubahan lingkungan,
Tujuan dan Kriteria hasil : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x 24
jam diharapkan pola tidur kembali normal (6-8 jam/ hari), dengan kriteria hasil klien bisa
tidur dengan normal lagi.
Intervensi :
a) Kaji pola tidur klien
Rasional : mengertahui
penyebab gangguan tidur klien
b) Observai tanda-tanda vital
Rasional : mengetahui
keadaan umum klien
c) Berikan lingkungan yang nyaman
Rasional : meningkatkan
tidur klien
d) Anjurkan minum susu sebelum tidur
Rasional : meningkatkan
keinginan tidur klien
e) Berikan posisi yang nyaman
Rasional : memberikan rasa
nyaman dan meningkatkan tidur klien.
5)
Kurang
pengetahuan mengenai kondisi, aturan tindakan dan pencegahan berhubungan dengan tak akurat/ tidak lengkap
informasi yang ada.
Tujuan dan Kriteria hasil : menambah pengetahuan klien tentang kesehatannya
dengan kriteria hasil klien/
keluarga menyatakan pemahaman proses penyakit/ prognosis dan kebutuhan
pengobatan.
Intervensi :
a)
Kaji pengetahuan klien dan
keluarga mengenai proses penyakit dan kebutuhan pengobatan.
Rasional : Mengidentifikasi pemahaman klien /
keluarga.
b)
Berikan
penyuluhan tentang penyakit, pencegahan berulang dan perawatan diri di rumah.
Rasional : Meningkatkan pemahaman klien/ keluarga.
c) Diskusikan obat pernapasan, efek samping,
dan reaksi yang tak diinginkan.
Rasional : Penting bagi pasien untuk memahami
perbedaan efek samping mengganggu dan efek samping merugikan.
d) Diskusikan pentingnya menghindari orang
yang sedang infeksi pernapasan aktif.
Rasional : Menurunkan pemajanan dan insiden
mendapatkan infeksi saluran napas atas.
e) Anjurkan pasien/orang terdekat dalam
penggunaan oksigen aman.
Rasional : Pasien/orang terdekat dapat mengalami
ansietas, depresi, dan reaksi lain terhadap penyakit kronis.
6)
Risiko
tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama.
Tujuan
dan Kriteria hasil : Tidak terjadi infeksi dengan kriteria hasil tidak terjadi demam, suhu tubuh dalam
batas normal (36,00C-37,50C).
Intervensi :
a) Awasi suhu.
Rasional :
Demam dapat terjadi karena infeksi dan/atau dehidrasi.
b) Observasi warna, karakter, dan bau
sputum.
Rasional :
Sekret berbau, kuning, atau kehijau-hijauan menunjukkan adanya infeksi paru.
c) Awasi pengunjung : berikan masker
sesuai indikasi.
Rasional :
Menurunkan potensial terpajan pada penyakit infeksius.
d) Diskusikan kebutuhan makan nutrisi
adekuat.
Rasional :
Malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahanan terhadap infeksi.
e) Kolaborasi : Berikan antimikrobial
sesuai indikasi.
Rasional
: Dapat diberikan
untuk organisme khusus yang teridentifikasi dengan kultur dan sensitivitas.
d.
Implementasi
Implementasi
adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai
setelah rencana tindakan disusun dan ditujukan pada nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang
diharapkan. Tujuan dari pelaksanaan adalah mencapai tujuan yang telah
ditetapkan, yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan
kesehatan dan memfasilitasi koping. Tindakan keperawatan dibedakan kewenangan
dan tanggung jawab perawat secara profesional (Nursalam.
2011).
e.
Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual
untuk melengkapi proses keperawatan
yang menandakan keberhasilan dari diagnosis keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaanya. Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan
cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan
tercapai atau tidak (A. Aziz Alimul
Hidayat, 2009).
B. Landasan
Teori Kasus
1.
Pengertian
Pernapasan (respirasi) adalah peristiwa
menghirup udara dari luar yang mengandung (oksigen) serta menghembuskan udara yang banyak mengandung
karbondioksida sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Penghisapan udara
ini disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi (Syaifuddin, 2009, hal. 192).
Menurut Susan Martin Tucker et al, (2008). Penyakit paru obsrtuksi kronik (PPOK) adalah suatu kondisi kronis yang disertai dengan riwayat
emfisema, asma, bronkitis kronis, bronkiektasis, merokok, atau pajanan terhadap
polusi udara; terjadi obstruksi jalan napas persisten yang meningkat secara progresif.
Sedangkan menurut Price dan Wilson
(2005) Penyakit
Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan suatu
istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung
lama yang ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai
gambaran patofisiologi utamanya.
Penyakit Paru-paru Obstruksi Kronis (cronic obstructive pulmonary diseases)
merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit
paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi
terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit
yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah bronkitis kronik,
emfisema paru-paru dan asma bronchial (Somantri,
2009, hal. 49)
a. Asma bronkial adalah suatu gangguan pada saluran bronkial dengan ciri bronkospasme
periodik (kontraksi spasme pada saluran napas. Somantri (2008).
b. Bronkitis kronis merupakan keadaan yang berkaitan dengan produksi mukus trakeobronkial yang bertahan, sehingga
menimbulkan batuk yang terjadi paling sedikit selama tiga bulan dalam waktu
satu tahun untuk lebih dari dua tahun secara berturut-turut (Somantri,
2008, hal.49).
c. Emfisema paru merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai oleh
pelebaran ruang udara didalam paru-paru disertai destruksi jaringan (Somantri, 2008, hal.52).
- Etiologi
Etiologi penyakit ini belum diketahui. Penyakit ini dikaitkan dengan
faktor-faktor risiko yang terdapat pada penderita antara lain:
a. Merokok sigaret yang berlangsung lama
b. Polusi udara
c. Alergi
d. Infeksi peru berulang
e.
Umur
f. Jenis kelamin
g. Ras
h.
Defisiensi alfa-1 antitripsin
i.
Defisiensi anti oksidan
Pengaruh dari masing-masing faktor
risiko terhadap terjadinya PPOK adalah saling memperkuat dan faktor merokok
dianggap yang paling dominan.
- Patofisiologi
Asap rokok dan polusi udara menyebabkan
kelainan di mana terjadi kerusakan pada dinding alveolus yang akan menyebabkan overdistensi
permanen ruang paru. Perjalanan udara akan terganggu akibat dari perubahan
ini. Kesulitan selama ekspirasi merupakan akibat dari adanya dekstruksi dinding
(septum) diantara alveoli, jalan napas kolaps sebagian,
dan kehilangan elastisitas untuk mengerut. Pada saat alveoli dan septum kolaps,
udara akan tertahan diantara ruang alveolus
dan di antara parenkim paru-paru.
Proses ini akan menyebabkan peningkatan ventilatory
pada area yang tidak mengalami kerusakan gas atau darah.
Kerja napas meningkat dikarenakan terjadinya
kekurangan fungsi jaringan paru-paru untuk melakukan pertukaran O2
dan CO2. Selanjutnya menyebabkan destruksi kapiler paru-paru
sehingga terjadi penurunan perfusi O2 dan penurunan ventilasi. Hal
ini di anggap normal jika sesuai dengan usia, tetapi jika hal ini timbul pada
pasien yang berusia muda biasanya berhubungan dengan bronkitis kronis dan merokok.
Asap rokok, polusi udara Predisposisi genetik
Gangguan pembersihan paru-paru Hilangnya
septum dan jaringan ikat penunjang
Radang bronkial dan bronkiolus Saluran napas kecil kolap
akibat ekspirasi
Obstruksi jalan napas Emfisema Sentralobular
Akibat
radang & Emfisema Panlobular Emfisema Panlobular
Hipoventilasi alveolar Lemahnya dinding bronkial dan kerusakan alviolar
Bronkiolosis kronik Kolapnya saluran napas kecil saat
ekspirasi
SLE
bronkiolosis kronik Dominan SLE
Gambar. 1. Patofisiologi Penyakit Paru Obstruksi
Kronik
(Price dan
Wilson.2005. hal. 788)
Gambar.2. Fisiologi Perjalanan Penyakit.
- Manifestasi Klinis
a. Kelemahan badan
b. Batuk berdahak
c. Sesak napas
d. Sesak napas saat aktivitas dan napas berbunyi
e. Mengi atau wheezing
f. Ekspirasi yang memanjang
g. Bentuk dada tong (Barrel Chest) pada penyakit lanjut
h. Penggunaan otot bantu pernapasan
i. Suara napas melemah
j. Kadang ditemukan pernapasan paradoksa
k. Edema kaki, asites dan jari tabuh
5.
Komplikasi
Komplikasin Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) menurut
Elizabeth J. Corwin, (2009), diantaranya adalah hipertensi paru yang
menyebabkan kor pulmonalise dan pneumotoraks. Sedangkan Komplikasi Penyakit Paru Obsrtuksi Kronik (PPOK) menurut Somantri (2009), adalah sebagai berikut :
a.
Hipoksemia
Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PO²
< 55 mmHg dengan nilai saturasi
O2 < 85 %. Pada awalnya pasien akan mengalami perubahan mood, penurunan kosentrasi, dan menjadi
pelupa.
b.
Asidosis respiratori
Asidosis respiratori timbul akibat dari
peningkatan nilai PCO2 (hiperkapmia). Tanda yang muncul antara
lain nyeri kepala, fatigue, letargi, dan takipnea.
c.
Infeksi saluran pernapasan
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena
peningkatan produksi mukus, peningkatan rangsang otot polos bronkhial, dan edema mukosa. Terhambatnya aliran udara akan meningkatkan kerja
napas dan menimbulkan dispnea.
d.
Gagal jantung
Terutama cor
pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru-paru) harus diobservasi,
terutama pada pasien dispnea berat.
Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan bronkhitis kronis, namun beberapa pasien emfisema berat juga mengalami masalah ini.
6.
Disritmia jantung
Disritmia jantung timbul akibat dari hipoksemia,
penyakit jantung lain, dan efek obat atau terjadinya asidosis respiratori.
7.
Status asmatikus
Status asmatikus merupakan komplikasi utama yang berhubungan dengan asma bronkhial. Penyakit ini sangat
berat, potensial mengancam kehidupan, dan sering kali tidak memberikan respon
terhadap terapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernapasan dan distensi vena leher sering kali
terlihat.
8.
Pemeriksaan Diagnostik
a.
Bronkoskopi
Merupakan teknik yang memungkinkan visualisasi langsung
dari trakea dan cabang-cabang utamanya. Cara ini paling sering digunakan untuk
memastikan diagnosis karsinoma bronkogenik, tetapi dapat juga digunakan untuk
membuang benda asing. Klien yang telah menjalani prosedur bronkoskopi, tidak
boleh makan atau minum selama minimal 2-3 jam sampai refleks muntah muncul
kembali. Jika tidak, mungkin klien akan mengalami aspirasi ke dalam cabang
trakeobronkial.
b.
Pemeriksaan Biopsi
Contoh jaringan yang dapat digunakan untuk pemeriksaan
biopsi adalah jaringan yang diperoleh dari saluran pernafasan bagian atas atau
bawah dengan menggunakan teknik endoskopi yang memakai laringoskop atau
bronkoskop. Manfaat utama biopsi paru-paru terutama berkaitan dengan penyakit
paru-paru difus yang tidak dapat didiagnosis dengan cara lain.
c.
Pemeriksaan Sputum
Penting dilakukan untuk mendiagnosis etiologi berbagai
penyakit pernafasan. Pemeriksaan mikroskopik dapat menjelaskan organisme
penyebab pada berbagai pneumonia bakterial, tuberkulosis, serta berbagai jenis
infeksi jamur. Pemeriksaan sitologi eksfoliatif pada sputum dapat membantu
dalam mendiagnosis karsinoma paru. Waktu terbaik untuk pengumpulan sputum
adalah setelah bangun tidur, karena selesai abnormal bronkus cenderung untuk
berkumpul pada waktu tidur.
d.
Analisis Gas Darah
Darah yang digunakan untuk menganalisa tes ini adalah
darah arteri, dan yang terpilih adalah arteri radialis dan femoralis karena
arteri ini mudah dicapai. Pada bronchitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun,
timbul sianosis, terjadi vasokonstriksi vaskuler paru dan penambahan
eritropoesis. Hipoksia yang kronik merangsang pembentukan eritropoetin sehingga
menimbulkan polisitemia. Pada kondisi umur 55-60 tahun polisitemia menyebabkan
jantung kanan harus bekerja lebih berat dan merupakan salah satu penyebab payah
jantung kanan.
PaCO2 merupakan petunjuk yang terbaik
untuk mengetahui fungsi ventilasi alveolar. Jika nilai PaCO2 meningkat, maka
penyebab langsungnya berupa hipoventilasi alveolar umum. Hipoventilasi akan
menyebabkan asidosis respiratorik sehingga pH darah akan turun. Hipoventilasi
alveolar dapat terjadi jika TV berkurang (pengaruh ruang rugi) seperti yang
terjadi apabila seseorang bernafas cepat dan dangkal.
- Penatalaksanaan Umum Medikal
Tujuan penatalaksanan PPOK adalah
a.
Memperbaiki kemampuan penderita
mengatasi gejala tidak hanya pada fase akut, tetapi juga fase kronik.
b.
Memperbaiki kemampuan penderita
dalam melaksanakan aktivitas harian.
c.
Mengurangi laju prigresivitas
penyakit apabila penyakitnya dapat dideteksi lebih lanjut.
Penatalaksanaan PPOK pada usia lanjut adalah sebagai berikut:
a.
Meniadakan faktor etiologi/
presipitasi, misalnya segera menghentikan merokok, menghindar polusi udara.
b.
Membersihkan sekresi bronkus
dengan pertolongan berbagai cara.
c.
Memberantas infeksi dengan
antimikroba. Apabila tidak ada infeksi antimikroba tidak perlu diberikan.
Pemberian antimikroba harus tepat sesuai dengan kuman penyebab infeksi yaitu
sesuai hasil uji sensitivitas atau pengobatan empirik.
d.
Mengatasi bronkospasme dengan
obat-obat bronkodilator. Penggunaan kortikosteroid untuk mengatasi proses
inflamasi (bronkospasme) masih kontroversial.
e.
Pengobatan simtomatok.
f.
Penanganan terhadap
komplikasi-komplikasi yang timbul.
g.
Pengobatan oksigen, bagi yang
memerlukan. Oksigen harus diberikan dengan aliran lambat 1 - 2 liter/menit.
Tindakan rehabilitas yang meliputi:
a.
Latihan pernapasan,
Fisioterapi, terutama bertujuan untuk membantu pengeluaran secret bronkus.
b.
Latihan pernapasan, untuk
melatih penderita agar bisa melakukan pernapasan yang paling efektif.
c.
Latihan dengan beban oalh raga
tertentu, dengan tujuan untuk memulihkan kesegaran jasmani.
d.
Vocational guidance, yaitu
usaha yang dilakukan terhadap penderita dapat kembali mengerjakan pekerjaan
semula.
Penatalaksanaan
Medis
a. Pencegahan : Mencegah kebiasaan merokok, infeksi, dan polusi udara
b.
Terapi eksaserbasi akut di
lakukan dengan :
1)
Antibiotik, karena eksaserbasi
akut biasanya disertai infeksi, infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S. Pneumonia,
maka digunakan ampisilin 4 x 0.25-0.56/ hari atau eritromisin
4×0.56/ hari Augmentin (amoksilin dan asam klavulanat) dapat diberikan jika
kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenza dan B. Cacarhalis yang
memproduksi B. Laktamase Pemberiam antibiotik seperti kotrimaksasol,
amoksisilin, atau doksisiklin pada pasien yang mengalami eksaserbasi akut
terbukti mempercepat penyembuhan dan membantu mempercepat kenaikan peak flow
rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode eksaserbasi. Bila terdapat
infeksi sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotik yang
kuat.
2)
Terapi oksigen diberikan jika
terdapat kegagalan pernapasan karena hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap
CO2
3)
Fisioterapi membantu pasien
untuk mengelurakan sputum dengan baik.
4)
Bronkodilator, untuk mengatasi
obstruksi jalan napas, termasuk di dalamnya golongan adrenergik b dan anti
kolinergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratopium
bromida 250 mg diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25 - 0,56
IV secara perlahan.
c.
Terapi jangka panjang di
lakukan :
1)
Antibiotik untuk kemoterapi
preventif jangka panjang, ampisilin 4×0,25-0,5/hari dapat menurunkan kejadian
eksaserbasi akut.
2)
Bronkodilator, tergantung
tingkat reversibilitas obstruksi saluran napas tiap pasien maka sebelum
pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi faal paru.
3)
Fisioterapi
d.
Latihan fisik untuk
meningkatkan toleransi aktivitas fisik
e.
Mukolitik dan ekspektoran
f.
Terapi oksigen jangka panjang
bagi pasien yang mengalami gagal napas.
Rehabilitasi, pasien cenderung menemui
kesulitan bekerja, merasa sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan
sosialisasi agar terhindar dari depresi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar